, (Ronggo.id) – Pihak bakal menempuh jalur hukum jika warga enggan pindah dari calon lahan Gedung Instalasi Perawatan Intensif Terpadu (IPIT) .

Ketua Yayasan Abdi Negara Tuban, Joko Sarwono menyampaikan telah beberapa kali menggelar audensi dengan warga yang bermukim di lahan milik yayasan yang kini dibeli oleh Pemerintah Kabupaten Tuban untuk kebutuhan pembangunan Gedung IPIT.

“Setelah audensi, dari 19 kepala keluarga (KK) yang tinggal disitu, 12 sudah menerima, tinggal 7 KK yang masih menolak,” tuturnya, Sabtu (15/6/2024).

Dalam audensi tersebut, pihaknya menunjukan sejumlah bukti bahwa tanah  yang ditempati warga tersebut merupakan milik yayasan, bukan milik warga. Sehingga, yayasan tidak bisa memberikan ganti rugi, melainkan dalam bentuk bantuan uang maksimal sebesar Rp 25 juta.

“Kita tidak dalam posisi menghitung dalam bentuk ganti rugi atau pesangon. Karena tidak ada kaitan hukum antara yayasan dengan warga yang menempati,” terangnya.

Kepala Bappeda Litbang Tuban itu mengaku sudah melayangkan surat peringatan kepada 7 KK yang masih bertahan agar segara pindah. Apabila tak diindahkan, maka terpaksa akan ditempuh upaya hukum.

“Proses hukumnya sesuai dengan masalah yang ada, karena warga ini memang tidak punya hak terhadap tanah yang kami kuasai. Mungkin urusan pidana, nanti kita laporkan ke Polres,” ujarnya.

Sebelum langkah hukum itu diambil, kata Joko, pihaknya akan kembali melakukan upaya pendekatan dengan harapan 7 KK tersebut berkenan untuk pindah.

“Yang utama nanti kita tetap melakukan pendekatan-pendekatan persuasif,” katanya.

Sebagaimana diketahui, sejumlah spanduk berisikan kalimat menohok bertebaran ditengah rencana .

Spanduk-spanduk tersebut terpampang di tembok rumah sakit dan juga di rumah warga yang rencananya akan dibangun Gedung IPIT.

Salah seorang warga, Abdul Rahman mengungkapkan, spanduk ini sengaja dipasang karena warga ingin menuntut uang ganti rugi yang layak sebagai pengganti bangunan yang sudah puluhan tahun dihuni.

“Kita sebenarnya tidak menuntut banyak, kita ingin diperlakukan secara manusiawi,” ungkapnya, Sabtu (8/6/2024).

Pria berusia 42 itu menyebut, warga sudah menempati lahan tersebut sekitar 1990-1992-an silam. Namun, Yayasan Abdi Negara justru mengklaim telah mengantongi sertifikat hak milik (SHM) sejak tahun 1998.

“Yang bikin kesal, pihak yayasan mengklaim punya sertifikat resmi sejak 1998. Padahal tahun 1990-1992-an warga sudah tinggal disini. Jadi kita tidak ngawur menempati lahan ini,” ucapnya,

Abdul Rahman membeberkan, pada April 2023 lalu, warga disodori surat pernyataan oleh kuasa hukum yayasan. Klausulnya, warga bersedia menerima pemberian uang kompensasi dengan nominal yang variatif, mulai Rp 50 hingga Rp 85 juta.

“Waktu itu kita dimintai uang 100 ribu untuk buka rekening. Tapi beberapa bulan tidak ada tindaklanjut,” bebernya.

Kemudian, pada Maret 2024 warga diajak mediasi di Kantor Yayasan Abdi Negara. Dalam kesempatan itu, pihak yayasan tiba-tiba menyatakan tidak bersedia memberikan ganti rugi, melainkan sekedar bantuan uang maksimal sebesar Rp 25 juta per KK.

“Pihak yayasan menyampaikan tidak bisa memberikan ganti rugi dengan alasan disorot oleh atasan, karena katanya pelanggaran. Sehingga bahasa ganti rugi dirubah menjadi bantuan, kalau bantuan bilangnya maksimal Rp 25 juta,” imbuhnya.

Abdul Rahman menuturkan, hingga kini sebanyak 7 kepala keluarga (KK) dari 19 KK memutuskan untuk tetap bertahan. Sedangkan 12 lainnya memilih angkat kaki usai menerima uang bantuan sebesar Rp 27,5 juta.

“Mereka menerima dari yayasan Rp 25 juta, dan Rp 2,5 juta dari rumah sakit,” tandasnya. (Ibn/Jun).