.id – Jaminan sosial adalah perwujudan . Sejarah mencatat, jaminan sosial hadir di Indonesia tidak terlepas dari dorongan kuat kaum pekerja dan organisasi pekerja.

Gerakan audiensi, loby hingga aksi demontrasi dilakukan oleh pekerja hampir di seluruh Indonesia, sampai lahirlah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian terbentuk lembaga yang bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS.

Berlandaskan hal itu, kaum pekerja memiliki andil dan tanggung jawab moral yang lebih besar dalam mengawal pelaksanaan serta tujuan jaminan sosial, yang mana pada ketentuannya memiliki 3 Azas, 9 prinsip dan 2 tujuan.

sebagai salah satu sayap organisasi pekerja, selama ini telah berkhidmat melakukan edukasi, sosialisasi, observasi hingga evaluasi pelaksanaan Jaminan Sosial agar mencapai tujuannya.

Memperingati Hari Buruh Sedunia, Jamkeswatch perlu memaparkan fakta dan realita berupa orange notice tentang era BPJS bagi pekerja untuk patut dijadikan isu gerakan pada momentum peringatan May Day.

  1. Setiap Tahun Iuran BPJS Pekerja Pasti Naik

Ya memang benar, setiap tahun iuran BPJS pekerja pasti naik. Hal itu karena besaran iuran segmen Pekerja Penerima Upah/PPU berbasiskan prosentase dari upah minimum. Kenaikan iuran itu berlaku untuk iuran BPJS Kesehatan maupun .

Dengan kenaikan iuran BPJS setiap tahun yang menyesuaikan kenaikan upah minimum, apa imbal baliknya bagi pekerja?. Pada BPJS Kesehatan pekerja diberikan “hak istimewa” berupa mendapatkan fasilitas kelas 1 apabila upahnya di atas 4 juta rupiah. Berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang manfaatnya berupa santunan, penghitungannya sesuai upah yang dilaporkan.

Lalu masalahnya dimana?. Masalahnya, didaftarkan tidaknya menjadi peserta, atau dipungut dan disetor tidaknya gaji pekerja ke BPJS, tergantung pada komitmen pemberi kerja/badan usaha. Sebab PK/BU juga diberikan tanggung jawab dan kewajiban didalam pelaksanaannya.

Pasalnya hak pekerja dalam Jaminan Sosial dapat terancam bahkan hilang akibat ketidakpatuhan PK/BU. Terlebih hadirnya Omnibus Law Cipta Kerja yang melemahkan beberapa aspek sistem ketenagakerjaan yang akhirnya berdampak pada sisi kepesertaan serta kolektifitas iuran BPJS. Diantara sebabnya dipermudahnya sistem outsourcing serta PHK.

Rencana pemerintah memberlakukan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) juga akan berdampak terhapusnya “privilege” yang telah didapatkan oleh pekerja. KRIS mereduksi manfaat pelayanan serta tidak sejalan dengan ketentuan filosofi SJSN. Kebijakan ini seharusnya memicu penolakan dari para pekerja.

  1. Iuran Jaminan Sosial Tidak Termasuk Komponen Penghitungan Upah Minimum

Semenjak kemunculannya, pekerja berharap iuran jaminan sosial masuk dalam komponen penghitungan upah minimum. Sayangnya harapan itu pupus sebab Omnibus Law Cipta Kerja menganulir perhitungan upah minimum, yang awalnya berbasiskan Komponen Hidup Layak (KHL), kini berbasiskan nilai inflasi dan atau pertumbuhan ekonomi.

Dengan Omnibus Law Cipta Kerja, iuran jaminan sosial tidak akan pernah bisa menjadi komponen penghitungan upah. Padahal banyak pekerja Indonesia, mendapatkan upah atau dilaporkan upahnya dibawah upah minimum. Potongan iuran BPJS tak dapat dihindari dan kian menggerus pendapatan pekerja setiap bulannya.

Saat ini besaran iuran BPJS yang dibayar oleh pekerja adalah 4 persen dari upahnya setiap bulan, dimana iuran BPJS Kesehatan sebesar 1 persen dan iuran BPJS Ketenagakerjaan sebesar 3 persen.

  1. Terkuncinya Kepesertaan Pekerja

Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, pekerja rela dipotong upahnya terlebih dahulu setiap bulan untuk membayar iuran BPJS, bahkan sebelum upah itu diterimanya. Namun apakah kepatuhan dan loyalitas pekerja ini telah mendapat manfaat yang semestinya?.

Faktanya, sistem jaminan sosial dapat mengunci status kepesertaan pekerja. Terkuncinya kepesertaan ini mengakibatkan tergantungnya kepesertaan segmen PPU dalam sistem E-Dabu. Kondisi itu bisa terjadi ketika PK/BU dengan sengaja atau lalai dalam menyetorkan iuran, melakukan perubahan atau pemutusan kepesertaan pekerja pada sistem E-Dabu.

Kesengajaan atau kelalaian tersebut bisa terjadi karena permasalahan hubungan industrial ketenagakerjaan, kepailitan atau bobroknya manajerial perusahaan. Locking sistem E-Dabu ini jelas sangat merugikan pekerja karena menghilang haknya.

Perbuatan itu menjadikan pekerja tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, ataupun dialihkan ke segmentasi lain. Pembiayaan pelayanan kesehatan pekerja menjadi tidak jelas penanggungnya. Contoh kasus Locking sistem ini banyak terjadi, terlebih semenjak Omnibus Law Cipta Kerja diterbitkan.

Salah satu contohnya yang di alami oleh ratusan pekerja di Kabupaten pada tahun 2022. Kala itu, salah satu perusahaan secara tiba-tiba melakukan lock out/penutupan tanpa alasan yang jelas.

Akibatnya, ratusan pekerja nasibnya terombang-ambing. Terutama, pekerja yang tengah sakit atau sedang melakukan kontrol rutin. Belum incrach-nya proses permasalahan hubungan industrial, menjadikan status pekerja terkunci pada sistem E-Dabu.

Upaya pengalihan ke segmen lain pun otomatis juga tidak bisa dilakukan karena kepesertaan terdata di segmen PPU. Kewajiban perusahaan selama belum incrach berupa melanjutkan kepesertaan dan membayarkan iuran BPJS pekerja, juga tidak dijalankan.

Meskipun telah dibantu oleh dinas sosial, dinas tenaga Kerja, kepolisian, kejaksaan hingga anggota DPRD Provinsi , hasilnya tetap nihil. Beberapa dari pekerja terpaksa membayar sendiri biaya pelayanan kesehatannya, bahkan ada yang sampai meninggal dunia karena solusi tak kunjung ada.

Sampai tahun 2024 ini, ratusan pekerja tersebut kehilangan hak jaminan kesehatan sebagai warga negara. Kejadian pada ratusan buruh di Pasuruan, dampak secara nasional kalkulasinya tentu lebih besar lagi. Azas keadilan dan kesejahteraan sosial pun dipertanyakan.

Pemberi kerja/badan usaha yang berbuat salah atau lalai tetapi kenapa pekerja yang harus menjadi tumbal dan mendapatkan resikonya?.

  1. Celah Masa Transisi

Selain resiko terkuncinya kepesertaan, pekerja juga berpotensi kehilangan payung perlindungan hukum dalam sistem jaminan sosial. Hal itu terjadi ketika pekerja baru pendaftaran atau dalam proses perpindahan, baik karena perpindahan segmen atau perpindahan PK/BU.

Pekerja yang baru didaftarkan ke BPJS, membutuhkan waktu proses untuk mendapatkan perlindungan jaminan sosial. Begitu pula saat pekerja pindah segmentasi ataupun pindah dari PK/BU satu ke PK/BU lainnya, maka memerlukan masa transisi aktifnya kepesertaan.

Proses admisi atau birokrasi untuk aktifnya kepesertaan waktunya bervariasi, tetapi biasanya kepesertaan baru dinyatakan aktif ketika pembayaran iuran telah dilakukan untuk pertama kalinya.

Terdapatnya masa transisi atau masa jeda berdasarkan masuknya pembayaran iuran itu menjadi celah hukum karena tidak diatur secara tegas dan rinci dalam regulasi. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap perlindungan sosial pekerja, seandainya terjadi masa transisi aktifnya kepesertaan atau menunggu iuran dibayarkan.

PK/BU selalu berkilah telah menjalankan prosedur dan jarang mau mengganti pembiayaan kesehatan. Pengenaan sanksi juga harus menunggu waktu dan mekanisme, regulasi yang mentah sulit melakukan eksekusi.

Dalam SJSN, sanksi atas ketidakpatuhan dan pelanggaran diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang selain Pemberi kerja dan Penerima Bantuan Iuran dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Banyak pihak memandang, PP 86/2013 tidak efektif, sulit dijalankan dan tebang pilih. Alasannya, tidak bisa diberlakukan untuk Pemberi Kerja/Badan Usaha atau fasilitas kesehatan milik pemerintah, hanya dikenakan sanksi administratif, eksekusi sulit karena perlunya harmonisasi lintas sektor serta tidak membuat efek jera. Apakah berarti milik pemerintah pasti patuh dan tidak melanggar?.

PP 86/2013 sama sekali tidak memperhatikan sisi urgensitas penanganan pasien. Peserta yang membutuhkan penanganan medis yang harusnya disegerakan, justru disuruh menunggu mekanisme pengenaan sanksi yang bisa memerlukan waktu berhari-hari dan hanya administratif. Lalu biaya pelayanan ditanggung siapa?.

  1. Fatamorgana Hak Jaminan Sosial Pasca ter-PHK

Sistem Jaminan Sosial juga mengebiri hak-hak pekerja yang ter-PHK. Realitanya tidak semua pekerja ter-PHK mendapatkan manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) atau pun manfaat 6 bulan penjaminan kesehatan program JKN.

Iming-iming mendapatkan hak jaminan sosial pasca PHK ini bak fatamorgana bagi pekerja. Nyatanya tidak semua jenis PHK, masuk kriteria penerima manfaat jaminan sosial. Pembatasan kriteria ini tentu bertolak belakang dengan semangat, filosofi dan tujuan jaminan sosial.

Proses pengajuan manfaat JKP maupun JKN pasca PHK tidak semudah yang tertulis pada peraturan. Ada beberapa hal dan kondisi yang menyebabkan pekerja ter-PHK tidak dapat menerima manfaat. Banyak pekerja mengeluhkan sulitnya mendapatkan haknya, alasan klasik adalah ruwetnya pengurusan admisi dan birokrasi.

Dalam manfaat jaminan kesehatan 6 bulan pasca PHK, tidak semua daerah bisa memasukan pekerja ter-PHK menjadi peserta penerima bantuan iuran sebagaimana amanah peraturan. Selain PHK tidak termasuk dalam persyaratan masyarakat miskin penerima PBI, jumlah kuota PBI di daerah juga dibatasi oleh ketersediaan alokasi anggaran di daerah.

Begitu juga ketika pekerja ter-PHK karena meninggal dunia. Ahli waris yang ditinggalkan oleh pekerja, ternyata diikuti dengan hilangnya hak kesehatan bagi ahli waris yang ditinggalkan. Keluarga yang kehilangan sumber ekonomi, seharusnya makin mendapatkan jaminan sosial yang lebih intensif.

  1. Kordinasi Layanan Antar Lembaga Penjamin

Di Indonesia terdapat berbagai lembaga perlindungan sosial, seperti BPJS Kesehatan untuk penjaminan kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja, Jasa Raharja untuk korban lalu lintas, LPSK untuk saksi dan korban tindak pidana/kejahatan, Komisi Perlindungan Ibu dan Anak untuk KDRT, untuk penanganan bencana, dan lain sebagainya.

Di era BPJS, diantara permasalahan serius adalah koordinasi layanan antar lembaga penjamin dalam perlindungan sosial. Peraturan Nomor 141/PMK.02/2018 Tahun 2018 tentang Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan Dalam Pemberian Manfaat Pelayanan Kesehatan, diharapkan menjadi jembatan.

Sayangnya, permenkeu itu makin menjadikan silang sengkarut penjaminan karena hanya menitikberatkan pada kecelakaan lalu lintas dan berdasarkan dugaan kejadian. Apakah itu KLL, kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, namun malah meniadakan bagi korban tindak pidana/kejahatan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Selain hal-hal teknis seperti perbedaan syarat administrasi, batas klaim, jangka waktu proses/pelayanan, ketersediaan petugas serta perbedaan pemahaman antar lembaga, terdapat pula ketidakjelasan penjaminan dan kontradiksi dalam ketentuan, terutama menyangkut korban tindak pidana/kejahatan dan penentuan status penjaminan pasien.

Dewan Jaminan Sosial Nasional selaku monitoring dan evaluasi SJSN, malah ikut latah mengeluarkan Peraturan DJSN Nomor 1 Tahun 2021 untuk titik poin yang sama. Lembaga pengawas kebijakan malah mengeluarkan kebijakan, tentunya itu menjadi kelucuan tersendiri yang patut ditangisi.

Permasalahan koordinasi ini makin nyata, ketika Jasa Raharja membuat MoU dengan BPJS Kesehatan serta terbitnya Keputusan Direksi Jasa Raharja terkait klausul 6 jenis pelanggaran lalu lintas yang tidak ditanggung oleh Jasa Raharja.

Dalam MoU itu terjadi perbedaan penafsiran mengenai pergantian penjaminan dari Jasa Raharja ke BPJS Kesehatan, batas plafon dan jangka waktu klaim. Jamkeswatch menyoroti serius MoU tersebut, yang dikemudian hari perbedaan pemahaman itu dapat diselaraskan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pun begitu dengan munculnya Kepdir Jasa Raharja, klausul 6 jenis pelanggaran lalu lintas yang tidak ditanggung Jasa Raharja meliputi ;

  1. Melawan Arus Lalu Lintas
  2. Berkendara tanpa Surat Ijin Mengemudi yang sah
  3. Mengemudi kendaraan bermotor yang telah dimodifikasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  4. Menerobos palang pintu perlintasan kereta api saat sinyal sudah berbunyi dan/atau ada isyarat lain
  5. Berkendara dengan tidak wajar untuk membuat konten yang menganggu lalu lintas
  6. Berkendara dengan kendaraan yang tidak teregistrasi atau tidak dilengkapi STNK

Alhasil, atas dorongan Jamkeswatch dan menindaklanjuti hasil rapat Kemenko, Kepdir JR tersebut akhirnya dibatalkan. Akan tetapi hingga hari ini, surat pencabutan tersebut belum juga dikeluarkan. Hal ini masih menjadi persoalan di berbagai daerah yang berdampak bagi pekerja atau masyarakat yang mengalami kejadian KLL.

Penutup

Dari beberapa hal diatas, sebenarnya masih banyak catatan Jamkeswatch di era BPJS bagi pekerja, diantaranya adalah persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan dampak pandemi bagi pekerja di tengah hadirnya BPJS serta metodologi alokasi investasi dana jaminan sosial.

Namun dari kesemua itu, mengerucut pada satu hal, yakni perlu adanya evaluasi bersama dan mungkin revisi dari UU SJSN dan ketentuan terkait lainnya. Pekerja sebagai salah satu stakeholder harus dilibatkan untuk membangun jaminan sosial dan perlindungan sosial yang lebih inklusif dan intensif.

Diakhir kata, Jamkeswatch berharap siapapun pemerintahan berkuasa, tetap aware dan care dalam jaminan sosial. Pekerja dan peserta adalah aset bangsa, bukan komoditas dan alat transaksional.

Dalam jaminan sosial tidak mengenal untung rugi, sebab bagian dari investasi masa depan bangsa. Sesuai amanah konstitusi dan tujuan kemerdekaan, pengrusakan Jaminan Sosial harusnya dianggap sebagai ancaman kedaulatan negara.

Penulis : Ipang Sugiasmoro

Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran Jamkeswatch Nasional