, (Ronggo.id) – , Aditya Halindra Faridzky mengancam akan mengambil sikap tegas jika warga tetap bersikukuh enggan pindah dari calon lahan Gedung Instalasi Perawatan Intensif Terpadu (IPIT) RSUD dr Koesma Tuban.

Menurut Lindra, warga sudah dihimbau supaya segera pindah dari lahan milik Yayasan Abdi Negara yang kini dibeli oleh Pemerintah Kabupaten Tuban untuk pembangunan Gedung IPIT.

“Dari 19 kepala keluarga (KK), 12 sudah berkenan untuk pindah, tinggal tersisa 7 KK. Mereka tidak punya dokumen apapun terkait kepemilikan lahan,” ditulis Rabu (19/6/2024).

Sejauh ini, kata Lindra, masih terus dilakukan pendekatan melalui komunikasi secara kekeluargaan. Namun begitu, apabila upaya tersebut gagal, tak segan bakal diambil sikap tegas.

“Kalau upaya komunikasi ini tidak ketemu, kita pasti akan tegas. Tapi saya berharap bisa dengan cara yang baik-baik,” ujarnya.

Lindra menargetkan proses pembangunan gedung IPIT bisa terealisasi tahun ini. Ia menjelaskan bahwa pembangunan Gedung 5 lantai tersebut untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit.

“Kita berusaha meningkatkan pelayanan yang lebih baik dengan meningkatkan teknologinya,” terangnya.

Diketahui, sejumlah spanduk berisikan kalimat menohok bertebaran ditengah rencana pembangunan Gedung IPIT RSUD dr Koesma Tuban.

Spanduk-spanduk tersebut terpampang di tembok rumah sakit dan juga di rumah warga yang rencananya akan dibangun Gedung IPIT.

Salah seorang warga, Abdul Rahman mengungkapkan, spanduk ini sengaja dipasang karena warga ingin menuntut uang ganti rugi yang layak sebagai pengganti bangunan yang sudah puluhan tahun dihuni.

“Kita sebenarnya tidak menuntut banyak, kita ingin diperlakukan secara manusiawi,” ungkapnya, Sabtu (8/6/2024).

Pria berusia 42 itu menyebut, warga sudah menempati lahan tersebut sekitar 1990-1992-an silam. Namun, Yayasan Abdi Negara justru mengklaim telah mengantongi sertifikat hak milik (SHM) sejak tahun 1998.

“Yang bikin kesal, pihak yayasan mengklaim punya sertifikat resmi sejak 1998. Padahal tahun 1990-1992-an warga sudah tinggal disini. Jadi kita tidak ngawur menempati lahan ini,” ucapnya,

Abdul Rahman membeberkan, pada April 2023 lalu, warga disodori surat pernyataan oleh kuasa hukum yayasan. Klausulnya, warga bersedia menerima pemberian uang kompensasi dengan nominal yang variatif, mulai Rp 50 hingga Rp 85 juta.

“Waktu itu kita dimintai uang 100 ribu untuk buka rekening. Tapi beberapa bulan tidak ada tindaklanjut,” bebernya.

Kemudian, pada Maret 2024 warga dipanggil ke Kantor Yayasan Abdi Negara untuk diajak mediasi. Dalam kesempatan itu, pihak yayasan tiba-tiba menyatakan tidak bersedia memberikan ganti rugi, melainkan sekedar bantuan uang sebesar Rp 25 juta per KK.

“Pihak yayasan menyampaikan tidak bisa memberikan ganti rugi dengan alasan disorot oleh atasan, karena katanya pelanggaran. Sehingga bahasa ganti rugi dirubah menjadi bantuan, kalau bantuan bilangnya maksimal Rp 25 juta,” imbuhnya.

Abdul Rahman menuturkan, hingga kini sebanyak 7 kepala keluarga (KK) dari 19 KK memutuskan untuk tetap bertahan. Sedangkan 12 lainnya memilih angkat kaki usai menerima uang bantuan sebesar Rp 27,5 juta.

“Mereka menerima dari yayasan Rp 25 juta, dan Rp 2,5 juta dari rumah sakit,” tandasnya. (Ibn/Jun).