Akankah pandemi virus menghempaskan kita kembali pada sikap tradisional dalam memahami peristiwa kematian atau justru memperkuat upaya kita untuk memperpanjang masa kehidupan?

Dunia modern telah dibentuk oleh sebuah kepercayaan bahwa manusia dapat mengelabui dan mengatasi kematian. Itu adalah cara pandang baru yang revolusioner. Kebanyakan dalam sejarahnya manusia mudah pasrah dan menyerah pada kematian. Bahkan hingga akhir-akhir abad modern, kebanyakan agama dan ideologi melihat kematian tidak hanya sebagai takdir yang tak terhindarkan tapi juga sebagai sumber makna yang utama dalam kehidupan. Momen paling penting dalam eksistensi manusia adalah ketika Anda mengembuskan napas yang terakhir. Sebab hanya setelah mengalami fase itu Anda akan mempelajari rahasia sejati sebuah kehidupan. Hanya setelah itu Anda akan mendapatkan keselamatan yang abadi atau justru siksaan yang tiada henti. Di dalam dunia tanpa kematian—dan untuk itu juga surga, neraka atau reinkarnasi—agama-agama seperti Kristen, , dan Hindu akan kehilangan maknanya. Dalam sejarahnya, pikiran terbaik manusia paling banyak disibukkan oleh upaya pemberian makna terhadap kematian, alih-alih untuk mengalahkannya.

Epik Gilgamesh, mitos Orpheus dan Eurydice, Bibel, Qur’an, Weda, dan sejumlah buku-buku dan kisah-kisah suci lainnya dengan ulet menjelaskan kepada manusia yang menderita bahwa kita mati sebab Tuhan telah menetapkan demikian, atau Kosmos, atau Ibu Alam, dan kita lebih baik menerima takdir itu dengan segala kerendahan hati dan sikap yang bijak. Mungkin suatu hari nanti Tuhan akan menghapus kematian melalui sebuah kejadian metafisik yang agung seperti kedatangan kedua Kristus yang ditunggu-tunggu. Tapi, orkestrase cerita-cerita besar semacam itu (penj: dalam rangka mengkompensasi penderitaan manusia) jelas berada jauh dari biaya yang harus dibayar oleh nyawa manusia.

Selepas itu datanglah revolusi ilmu pengetahuan. Bagi para ilmuwan, kematian bukanlah ketetapan Tuhan—melainkan tidak lain semata-mata problem teknis. Manusia mati bukan karena Tuhan menghendaki demikian tapi lebih disebabkan karena sebuah kegagalan teknis. Jantung berhenti memompa darah. Kanker menyebabkan kerusakan pada liver. Virus-virus tumbuh di dalam paru-paru. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas semua kesalahan teknis ini? Jantung berhenti memompa darah disebabkan karena kadar yang mencapai otot jantung tidak mencukupi. Sel-sel kanker menyebar pada liver karena sebuah kemungkinan mutasi genetik. Virus-virus berdiam di dalam paru-paru kita karena seseorang yang bersin di dalam bus. Tidak ada kausasi metafisik di dalam itu semua.

Ilmu pengetahuan percaya bahwa setiap kesalahan teknis mengandung solusi yang juga bersifat teknis. Kita tidak harus menunggu kedatangan Kristus untuk yang kedua kalinya hanya untuk mengatasi problem kematian. Sejumlah ilmuwan di dalam sebuah laboratorium dapat melakukannya. Jika dahulu kematian merupakan ladang spesialis bagi para pendeta dan teolog dalam jubah-jubah hitam mereka, maka sekarang ia menjadi cerita bagi orang-orang berjas putih di laboratorium. Jika ada jantung bermasalah, kita bisa menstimulasinya dengan menggunakan alat pacu jantung atau transplantasi jantung baru. Jika kanker menyerang, kita bisa melumpuhkannya dengan radiasi. Jika virus-virus berkembang di dalam paru-paru, kita bisa mengatasinya dengan vaksin-vaksin baru dalam ilmu kedokteran.

Benar bahwa pada saat ini kita belum bisa mengatasi semua problem-problem teknis yang ada. Tapi kita selalu bekerja dalam rangka itu. Pikiran-pikiran terbaik manusia tidak lagi dihabiskan untuk sebuah upaya pemberian makna bagi kematian. Namun, mereka jutsru sibuk mengupayakan perpanjangan bagi kehidupan. Mereka terus melakukan penelitian terkait sistem-sistem mikrobiologis, fisiologis, dan genetik yang menyebabkan penyakit dan usia tua serta mengembangkan model-model penanganan dan ilmu-lmu kedokteran yang baru dan revolusioner.