Dalam upaya mereka untuk memperpanjang usia kehidupan, manusia dapat dikatakan berhasil. Sepanjang dua abad terakhir, tingkat rata-rata harapan hidup manusia telah meningkat dari kurang dari 40 tahun hingga 72 tahun di seluruh dunia, dan bahkan hingga lebih dari 80 tahun di beberapa negara maju. Anak-anak khususnya telah berhasil terhindar dari ancaman kematian (penj: pada usia dini). Sampai pada abad ke-20, setidaknya sepertiga dari seluruh populasi anak tidak pernah mencapai usia dewasa. Mereka pada umumnya terpaksa harus menyerah pada penyakit anak seperti disentri, campak, dan cacar. Pada abad ke-17 di Inggris, sekitar 150 dari setiap 1000 anak yang baru lahir meninggal pada usia mereka, dan hanya sekitar 700 yang berhasil mencapai usia 15. Hari ini, hanya lima dari 1000 bayi di Inggris meninggal pada usia pertama mereka, dan 993 mendapat kesempatan untuk merayakan ulang tahun mereka yang ke-15. Di dunia secara keseluruhan, angka kematian anak menurun pada angka kurang dari 5%.

Keberhasilan manusia dalam usaha mereka menyelamatkan dan memperpanjang masa kehidupan menyebabkan perubahan mendasar pada cara pandang mereka terhadap dunia. Sementara agama-agama tradisional sejak dulu memahami kehidupan setelah kematian sebagai sumber utama dalam memaknai kehidupan, mulai dari abad ke-18 ideologi-ideologi besar seperti , , dan feminisme kehilangan segala ketertarikan mereka pada model kehidupan eskatologis tersebut. Apa yang sesungguhnya akan terjadi pada seorang setelah dia meninggal? Apa yang akan terjadi pada seorang ? Apa yang akan terjadi pada seorang feminis? Tidak ada gunanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam karya-karya Karl , Adam Smith atau Simone de Beauvoir (penj: sebab Anda tidak akan menemukannya).

Satu-satunya ideologi modern yang masih memberikan peran sentral pada peristiwa kematian adalah nasionalisme. Pada momen-momen krisis dan mengharukan, nasionalisme menjanjikan kehidupan yang abadi di dalam memori kolektif mereka bagi siapa saja yang gugur demi menjaga kedaulatan tanah air. Meski demikian, janji tersebut menjadi kabur manakala mereka yang mengaku paling nasionalis sekalipun tidak benar-benar tahu dan paham apa yang hendak mereka maksud dengan itu semua. Bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan ‘hidup’ dalam memori? Jika suatu saat Anda meninggal, bagaimana Anda bisa tahu bahwa orang-orang akan mengingat Anda atau tidak? Woody Allen suatu waktu pernah ditanya apakah dia berharap untuk hidup selamanya dalam memori para penonton (penj: yang mengidolakannya). Allen menjawab: “Lebih baik saya hidup di apartemen saya.” Banyak agama-agama tradisional yang bahkan telah berubah haluan. Alih-alih menjanjikan surga di kehidupan setelah kematian, mereka mulai mengalihkan perhatian pada apa yang bisa mereka kerjakan di kehidupan saat ini.

Akankah pandemi yang sedang terjadi saat ini mengubah sikap dan cara pandang manusia terhadap kematian? Mungkin tidak. Justru sebaliknya. mungkin akan memaksa kita untuk menggandakan upaya kita untuk melindungi nyawa manusia. Reaksi kultural terhadap Covid-19 yang dominan saat ini bukanlah sikap pasrah—melainkan gabungan antara penyesalan dan harapan.

Ketika epidemi melanda masyarakat pra-modern seperti di Eropa pada Abad Pertengahan, orang-orang mulai khawatir pada hidup mereka dan dirundung oleh kematian orang-orang tercinta sementara reaksi kultural masyarakat tidak lain adalah kepasrahan. Psikologi mungkin akan menyebutnya sebagai ‘learned helplessness (kepasrahan yang dipelajari)’. Orang-orang terus meyakinkan diri bahwa itu adalah kehendak Tuhan—atau mungkin balasan Tuhan atas dosa-dosa yang mereka perbuat. “Tuhan mengetahui yang terbaik. Kita manusia yang jahat pantas mendapatkannya. Dan kamu akan lihat, ia akan memberikan yang terbaik pada akhirnya. Jangan khawatir, orang-orang baik akan mendapat balasan di surga. Dan jangan buang-buang waktu untuk mencari obat. Penyakit ini dikirim Tuhan untuk menghukum kita. Mereka yang berpikir manusia dapat mengatasi epidemi ini dengan menggunakan kecerdasan mereka sendiri hanya akan menambah dosa lain karena kesombongan dan kesalahan mereka sendiri. Siapa kita yang hendak menggagalkan rencana Tuhan?”

Sikap yang ditunjukkan hari ini justru berada pada kutub yang sebaliknya. Ketika bencana membunuh banyak orang—seperti kereta api, hebat atau bahkan angin topan—kita cenderung melihatnya sebagai kegagalan manusia yang bisa dicegah, alih-alih sebagai hukuman Tuhan atau bencana alam yang tak terhindarkan. Jika perusahaan kereta api tidak menggelapkan anggaran keamanannya, jika perkotaan menerapkan aturan kebakaran yang lebih baik, dan jika pemerintah mengirimkan bala bantuan lebih cepat, orang-orang tersebut mungkin dapat diselamatkan. Pada abad ke-21, kematian massal selalu menjadi alasan otomatis bagi adanya penuntutan dan investigasi.

Demikian juga sikap kita terhadap wabah. Di saat para penceramah agama dengan cepat memaknai AIDS sebagai bentuk hukuman Tuhan untuk orang-orang gay, masyarakat modern justru mengabaikan pandangan semacam itu dan meletakkannya pada sisi-sisi yang fanatik, dan akhir-akhir ini secara umum kita melihat penyebaran AIDS, Ebola, dan epidemi lainnya yang belakangan terjadi sebagai kegagalan organisasional. Kita meyakini bahwa manusia modern memiliki pengetahuan dan seperangkat alat yang dibutuhkan untuk membendung wabah-wabah tersebut, dan jika penyakit menular tersebut tidak dapat lagi dikontrol, hal itu lebih-lebih disebabkan karena inkompetensi manusia sendiri, bukan karena murka Tuhan. Covid-19 dalam hal ini bukan sebuah pengecualian. Krisis masih jauh dari kata selesai, sementara upaya saling menyalahkan tampak baru saja dimulai. Negara-negara saling tuding satu sama lain. Politisi-politisi saling lempar tanggung jawab tak ubahnya melempar granat tanpa tuas.

Di samping kekacauan, terselip juga sejumlah harapan. Pahlawan kita bukanlah para pemuka agama yang memimpin pemakaman dan memaklumi bencana apa adanya. Pahlawan kita adalah para ahli medis yang berjuang untuk menyelamatkan kehidupan. Sementara itu, superhero kita adalah para ilmuwan yang bekerja di laboratorium. Seperti halnya penonton bioskop yang meyakini bahwa Spiderman dan Wonder Woman pada akhirnya akan mengalahkan orang-orang jahat dan menyelamatkan dunia, demikian juga dengan kita yang meyakini bahwa dalam beberapa bulan atau mungkin satu tahun ke depan, kerja-kerja laboratorium akan menemukan model penanganan Covid-19 yang efektif atau bahkan menghasilkan vaksinasi. Selanjutnya, kita akan menunjukkan pada virus keji ini siapa sebenarnya organisme alfa di planet ini! Pertanyaan bagi setiap orang dari Gedung Putih, melalui Wall Street hingga ke balkon Italia adalah: “Kapan vaksin siap?” Kapan. Bukan jika.