– Akibat adanya pengadaan tanah untuk pembangunan Grass Root Refinery (GRR) di Kecamatan , Kabupaten , , membuat seorang perempuan terpaksa memohon kepada petugas agar tanah dan tanah beserta rumahnya tidak diukur.

Peristiwa memilukan seorang perempuan yang memohon kepada petugas pengukur lahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban yang didampingi ratusan aparat gabungan dari kepolisian , anggota serta itu terjadi pada Senin, (03/08) pagi saat akan melakukan pengukuran tanah secara serentak dan tertangkap kamera video ponsel warga kemudian viral di media sosial.

Data yang dihimpun awak media ini, perempuan yang memohon agar tanah dan rumahnya tidak diukur paksa petugas itu bernama Ida, warga Dusun Tadahan, Wadung, Kecamatan Jenu.

Dalam video yang berdurasi sekitar 6 menit itu, Ida menyampaikan bahwa “Lemah itu malati Pak (tanah itu bisa membuat seseorang kualat), jadi kami memohon agar tanah saya jangan diukur. Kita memang tidak mengerti Undang-Undang, kalau kita sudah ndak mau ya tidak mau”.

Tidak terima dengan adanya pengukuran tanah yang dilakukan secara serentak tersebut, puluhan warga dari Desa Wadung dan Desa Sumurgeneng kemudian secara kompak menggeruduk kantor untuk meminta kejelasan.

Ditemui di halaman depan Kantor BPN Tuban, yang berada di Jalan Dr Wahidin Sudiro Husodo, Ida mengaku jika pegawai BPN didampingi aparat keamanan yang datang secara mendadak kerumahnya itu hanya untuk bersilaturahmi. Namun kedatangan mereka dengan membawa alat ukur tanah digital.

“Kaget saya, pas lagi memasak, tiba-tiba ada petugas yang datang kerumah saya tanpa pemberitahuan dan bilang mau silaturahmi. Tapi anehnya kok membawa alat ukur. Apakah rumah saya akan diukur? tanyaku dalam hati,” ungkapnya, Selasa, (4/8/2020).

Ida menjelaskan jika, tanah ladang beserta rumah miliknya tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Dan hanya itu satu-satunya tempat yang digunakan sebagai sumber kehidupan keluarga mereka saat ini.

“Jika tanah saya dijual, lalu kehidupan kami selanjutnya bagaimana? Wong kami ini bisanya hanya tani. Dan tidak mungkin Pertamina memperkerjakan orang seperti saya,”

Hal yang sama juga disampaikan oleh Karni, warga Dusun Pomahan, Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh petugas sudah diluar batas kemanusiaan. Seharusnya, pemerintah dan aparat keamanan dapat mengayomi rakyat kecil seperti mereka, bukan malah menindas yang lemah.

“Katanya pemerintah ingin mensejahterakan rakyat, rakyat yang mana yang akan disejahterakan? Kami disini sudah sejahtera meski hanya sebagai petani,” terang perempuan yang biasa dipanggil hajjah Karni.

Ia menambahkan, seharusnya negara ini bangga dan mendukung kegiatan para petani. Sebab, bukan minyak yang dapat menghidupi mereka para penguasa, melainkan hasil dari pertanian.

Maka itu, pihaknya meminta kepada pemerintah agar mengurungkan niatnya untuk memaksa warga yang hingga saat ini masih mempertahankan tanah mereka. Karena, sampai kapanpun warga akan tetap menolak memberikan tanahnya mereka kepada Pertamina.

“Tanah adalah sumber kehidupan kami. Kami makan juga dari hasil pertanian, bukan makan minyak. Jika tanah kami diambil, sama dengan mengambil nyawa kami. Maka itu, sampai kapanpun kami akan memperjuangkan hidup kami,” tegasnya.

Terpisah, Kepala BPN Tuban, Ganang Anindito menerangkan, jika pelaksanaan pengukuran tanah yang dilakukan petugas telah sesuai dengan mekanisme yang ada, dan BPN selaku tim pengadaan lahan hanya menjalankan perintah sesuai amanat.

Dalam proses pengadaan lahan, BPN juga telah melakukan berbagai tahapan, seperti konsultasi publik, sosialisasi, hingga pemberitahuan kepada masyarakat. Namun, mereka yang memang menolak tanahnya diukur.

“Sebelumnya warga sudah diberikan kesempatan untuk melakukan gugatan di PTUN terhadap penetapan lokasi tersebut, namun pengadilan memutuskan pengadaan tanah tetap dijalankan. Sehingga kami selaku tim pengadaan lahan harus menjalankan perintah sesuai amanat,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Terupdate RONGGO ID di: