Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2020-2024, rupanya menuai kontroversi dikalangan masyarakat. RUU tersebut patut dikritik karena dinilai terlalu mengintervensi ranah privat dan menerabas urusan pribadi rumah tangga. Selain itu, beberapa pasal di dalamnya juga berpotensi menimbulkan problematika yang serius.
Salah satu pasal yang paling menjadi sorotan ialah Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga yang memuat ketentuan mengenai tanggung jawab dan pembagian kerja antara suami dan istri. Pihak yang kontra dengan ketentuan tersebut berpandangan, bahwa terkait masalah tanggung jawab, kewajiban serta hak suami dan istri merupakan ranah privat yang cukup menjadi pembahasan dan kesepakatan bersama antara suami dan istri itu sendiri. Sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum dari campur tangan terhadap masalah pribadinya termasuk keluarga. Maka seharusnya negara tidak memberikan pengaturan yang terlalu jauh dalam urusan rumah tangga. Apabila negara sampai mengatur hal demikian, maka secara tidak langsung negara telah membatasi ruang gerak suami dan istri dalam membina keluarga mereka sendiri.
Selanjutnya RUU Ketahanan Keluarga juga memuat ketentuan mengenai kualifikasi tempat tinggal yang layak dihuni oleh anggota keluarga, seperti adanya kamar yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan dan kondisi rumah yang baik. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi faktual di Indonesia. Yang mana, masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah masih tinggal di rumah yang belum masuk dalam kualifikasi sebagaimana dimuat dalam RUU Ketahanan Keluarga tersebut. Ketentuan tersebut mengisyaratkan, rumah yang belum memiliki fasilitas sebagaimana dimaksud dalam RUU Ketahanan Keluarga, tidak layak dihuni oleh keluarga. Sedangkan hingga saat ini, pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara merata sehingga masih banyak masyarakat belum bisa menikmati tempat tinggal dengan kondisi yang baik. Ini tentu menimbulkan stigma negatif dari masyarakat itu sendiri, bahwa pemerintah telah menegasikan keberadaan kalangan masyarakat dengan ekonomi rendah yang tidak memiliki hunian yang layak.
Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur terlalu jauh urusan keluarga seolah tidak memiliki urgensi. Di era reformasi, hukum atau aturan yang seharusnya bisa bersifat responsif dan solutif, justru seolah bersifat otoritatif dengan berbagai ketentuan yang tidak implementatif. Hal-hal yang diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga seperti mengenai relasi antara suami dan istri, sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Begitu pula dengan ketentuan mengenai kekerasan dalam keluarga, sebenarnya juga telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga. Melihat adanya regulasi tersebut, maka seharusnya usulan RUU Ketahanan Keluarga tidak perlu ada.