Kementerian Hukum dan HAM (KEMENKUMHAM) melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 19/PK.01.04 Tahun 2020, mengambil kebijakan pembebasan bersyarat terhadap narapidana akibat kekhawatiran pemerintah akan penyebaran COVID-19 dilingkungan lembaga pemasyarakatan. Dalam peraturan tersebut, dimuat ketentuan mengenai program asimilasi dan integrasi yang dapat diperoleh narapidana guna pembebasannya.
Kebijakan pembebasan narapidana akibat pandemi ini hanya diberikan kepada narapidana pada kasus pidana umum dan anak, tidak dengan narapidana yang melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi, narkotika, teroris dan narapidana yang terjerat kejahatan berat lainnya.
Sebagaimana diketahui, lembaga pemasyarakatan di Indonesia tengah mengalami kelebihan kapasitas (overcrowded) dan sangat rawan akan terjadinya penyebaran penyakit. Sehingga pembebasan narapidana dinilai efektif untuk mencegah penyebaran COVID-19 yang semakin masif. Langkah pembebasan narapidana rupanya juga telah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika, Timur Tengah, Inggris dan beberapa negara lainnya.
Di satu sisi, langkah pembebasan narapidana sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona di Indonesia memberikan implikasi yang baik yaitu menutup celah penyebaran virus di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Walaupun sebelumnya telah dilakukan upaya pembatasan interaksi sosial dengan membatasi jam besuk para kerabat narapidana. Namun kondisi lapas yang sangat penuh tetap menimbulkan potensi penyebaran virus corona yang tak terelakkan.
Akan tetapi di sisi lain, kebijakan pembebasan narapidana di Indonesia yang ditujukan untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 rupanya menimbulkan polemik dan mengundang tanya masyarakat. Bagaimana tidak? Hingga saat ini telah terdapat sejumlah kasus kejahatan yang berhasil dilakukan kembali oleh narapidana yang baru dibebaskan akibat wabah corona. Keadaan ini jelas mengancam keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Padahal pembebasan narapidana sebagai upaya menekan laju penyebaran COVID-19 telah dilakukan melalui tahap penilaian perilaku. Di mana narapidana yang akan dibebaskan telah dinilai berkelakuan baik dengan mengikuti seluruh program pembinaan lembaga pemasyarakatan dan tidak melakukan pelanggaran disiplin selama beberapa kurun waktu terakhir. Namun proses penilaian tersebut nampaknya tak cukup memberi jaminan bahwa narapidana yang dibebaskan akan dapat membaur dalam masyarakat dengan baik dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Dalam keadaan bebas dari lembaga pemasyarakatan, eks narapidana justru terpicu untuk kembali melakukan kejahatan. Di dalam kajian kriminologi, pada dasarnya memang terdapat kecenderungan dalam diri seorang narapidana untuk melakukan kejahatan kembali meskipun dia dinilai telah memiliki perilaku yang baik bahkan dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, psikologis maupun pengaruh yang diterima selama proses pembinaan di lembaga pemasyrakatan itu sendiri. Terlebih pembebasan tersebut dilakukan secara bersama-sama dalam jumlah yang banyak.
Terulangnya kasus kriminal yang dilakukan oleh eks narapidana setidaknya memberi gambaran bahwa tujuan dari keberadaan lembaga pemasyarakatan untuk memberikan pembinaan kepada warga binaan supaya pelaku kejahatan mau menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya lagi ketika sudah kembali dalam kehidupan bermasyarakat, tidak sepenuhnya tercapai.
Selain itu, hal ini juga membuktikan bahwa sanksi pidana berupa pemenjaraan belum sepenuhnya efektif dalam memberikan efek jera dan menumpas kejahatan. Oleh karenanya, perlu upaya yang serius untuk terus memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia menuju arah yang lebih baik terutama dalam proses pembinaan warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian tujuan pemidanaan yang tidak sekedar memberikan efek jera, melainkan juga pengajaran dan perbaikan dapat sepenuhnya tercapai.