Suatu sore, tiba-tiba penulis mendapatkan broadcast yang berisi esai Pakde AS Laksono dan Pakde Goenawan Mohamad (GM). Tidak berselang lama, datang rentetan esai-esai lain oleh pakde-pakde yang lain. Sepanjang ingatan penulis, sangat jarang ada broadcast WhatsApp berisi esai ‘berdaging’ seperti ini. Biasanya lebih banyak berisi iklan produk atau iklan surga.
Tertatih-tatih penulis membaca esai-esai itu satu demi satu. Yang jelas, setiap esai terdiri lebih dari 280 karakter; tidak seperti yang biasa penulis baca. Tak kalah menarik, penulis berani bilang esai-esai ini lebih menarik.
Kemudian penulis malah ingin ikutan. Bukan karena merasa cukup pandai atau merasa harus. Karena memang sepertinya menarik untuk dilanjutkan.
Catatan yang Sudah
Beberapa poin yang mampu penulis jangkau, berangkat dari kegalauan soal penanganan Covid-19, adalah bagaimana kredibilitas Sains dipertanyakan. Mungkin lebih tepatnya, fungsi Sains sebagai panglima perlu dipertanyakan.
Lalu argumen-argumen tentang kebenaran (kebenaran mutakhir) Sains bermunculan. Argumen tentang kepongahan Sains juga dilontarkan. Sempat terbaca juga gugatan terhadap Matematika yang dipandang menjauhkan Sains dari manusia. Tidak sedikit yang menulis dengan penuh binar. Menyampaikan bagaimana Sains punya tugas untuk menunjukkan hakikat dari kenyataan. Ada pula kekhawatiran tentang bagaimana Sains mengedepankan kepastian, bukan lagi masuk ke proses pencarian kebenaran.
Ini semua tampak indah penuh kembang api, jogetan yang luar-biasa seru ingar bingarnya. Tetapi ada yang aneh ketika Sains dipotret sebagai penyedia kebenaran –bahkan kepastian– terhadap realitas kehidupan. Muncul pertanyaan di benak penulis: memangnya Sains pernah menawarkan kebenaran ‘real’ world? Atau itu hanya epistemic fallacy? Hmm.
Pada ranah Sains natural, rasanya poin ini cukup menarik untuk dilanjutkan. (Kata Sains setelah paragraf ini, terutama dipakai merujuk kepada Sains natural).
Klaim Penulis
Sains tidak pernah menawarkan kebenaran ‘real’ world. Apalagi bertugas mencari hakikat kenyataannya. Yang Sains hasilkan ‘hanyalah’ narrative reality (narasi dari realitas). Sains menciptakan model realitas. Tapi korelasi one-one-one antara pengetahuannya dan ‘real’ world tak bisa dijamin ada, apalagi kebenarannya. Sains bahkan tak mampu menjamin kekonsistenan dirinya. Dan ini semua menurut model Sains sendiri. Begini ceritanya.
Metode Ilmiah
Sains natural mengandalkan metode ilmiah sebagai alat utama pencariannya. Maka dari itu penulis merasa perlu menulisnya sebagai catatan pengingat. Tahapan metode ilmiah adalah:
1. Melakukan Observasi
2. Memformulasikan pertanyaan
3. Membuat hipotesis dan penjelasan yang bisa dicek kebenarannya
4. Membuat prediksi berdasarkan hipotesis
5. Tes prediksinya
6. Gunakan hasil dari eksperimen untuk mempertajam hipotesis
Kita sudah belajar sejak SD (atau SMP?) tentang tahapan di atas. Ada yang perlu dicermati disini, terutama poin ketiga: “Membuat hipotesis dan penjelasan yang bisa dicek kebenarannya”. Dibutuhkan garis demarkasi jelas tentang pengecekan kebenaran. Mana yang bisa dikatakan benar, mana yang bisa dikatakan salah?
Logical Positivism dan Correspondence Theory of Truth
Tahun 1920-an sekelompok filsuf, saintis, dan matematikawan di Berlin dan Vienna, menawarkan konsep Logical Positivism (LP) untuk membuat garis demarkasi yang jelas. LP menyatakan bahwa hanya ada dua jenis sumber pengetahuan: penalaran (logical reasoning) dan pengamatan langsung (empirical experience). Gagasan ini mempunyai efek pada pemahaman tentang bagaimana memvalidasi hipotesis: bahwa hipotesis yang bisa dicek kebenarannya hanyalah hipotesis yang bisa diobservasi langsung.
Masalahnya, seringkali hipotesis dibangun dari referensi atas entitas teori yang lain (yang ini tak bisa diobservasi, by definition). Dan proses membandingkan saat observasi langsung, harus meliputi semua kemungkinan kasus pada hipotesis-fenomena yang diuji (total observasi ini juga tak bisa dilakukan, by definition).
Rudolf Carnap, salah satu pendukung besar logical positivism, dalam bukunya The Philosophical Foundations of Physics, menyatakan: “At no point is it possible to arrive at complete verification of a law. In fact, we should not speak of ‘verification’ at all – if by the word we mean definitive establishment of truth – but only of confirmation.” Sudut pandang ini jelas mengatakan bahwa mendirikan kebenaran yang definitif bukanlah hal yang mungkin dicapai oleh verificationism Sains. Yang bisa dicapai ‘hanyalah’ derajat kebenaran.
Lalu datanglah Karl Popper membantu menawarkan falsifiability sebagai garis demarkasi benar-salah, “Hanya statemen yang mungkin disalahkan yang bisa dianggap sebagai bagian dari hipotesis Sains”. Sekilas ini menjawab masalah verificationism. Hipotesis tidak lagi perlu dites pada semua kemungkinan kasus. Jika dia terbukti salah pada satu kasus saja, hipotesisnya bisa dinyatakan salah. Bener seribu kali, tuntas oleh salah sekali.
Ada pertanyaan lanjutan, jika hipotesis belum dinyatakan salah, apakah kemudian dia menjadi kebenaran? Mungkin saja, ini yang ditulis pakde AS Laksana sebagai kebenaran mutakhir. Hipotesisnya dianggap masih ‘benar’ sebelum terbukti salah. Pertanyaan lanjutannya adalah, kebenaran atas apa?
Meneliti Kembali Kebenaran Sains
Menilik proses metode ilmiah di atas, bisa kita tonton dengan jelas bahwa atribut benar-salah ini ada pada relasi antara hipotesis-eksperimennya. Asumsi bahwa hipotesis adalah deskripsi dari ‘real’ world, berarti harus membangun asumsi juga bahwa ada relasi one-one-one antara pengetahuan manusia dan ‘real’ world. Ada masalah besar di sini. ‘Real’ world tidak pernah bikin statement apa-apa atas itu.
Correspondence truth antara pengetahuan dan realitas tidak bisa dipastikan kebenarannya/keberadaannya, simply karena realitas tak bisa ditangkap tanpa tabir bias dan asumsi pengamatnya; sedangkan realitas sendiri memilih diam seribu bahasa … manusia.
Pada kasus ini, falsifiability Popper juga tidak membantu. Dia tidak mengubah fundamental framework dari Sains. Sumbangsihnya adalah memberi alternatif metodologi untuk mempertajam atau mempermudah proses pengecekan yang sekarang memang banyak dipakai para saintis. Secara spesifik, untuk menjawab masalah un-testable universal case yang dihadapi verificationism tadi.
Coherence Theory of Truth
Mari kita coba pandangan lain : Coherence Theory of Truth. Pandangan ini menitikberatkan derajat kebenaran, pada koherensi pengetahuan di dalam sebuah konstruksi model (di kasus ini, dalam model Sains). Diasumsikan: semakin tidak ada kontradiksi di dalam sebuah model, semakin solid lah model tersebut dalam kebenarannya. Cukup menarik, faktor eksternal yang tidak bisa dijangkau (‘real’ world) digantikan oleh faktor internal model yang lebih bisa diolah.
Tapi pandangan ini juga bukan tanpa masalah. Jika kriteria kebenaran adalah koherensi internal di dalam model, maka tidak akan pernah bisa dipastikan bahwa observasi yang dibuat tentang realitas benar-benar sesuai dengan kenyataan realitas sesungguhnya. Yang Sains bisa pastikan hanyalah representasi ‘real’ world yang konsisten (se-konsisten mungkin), di dalam sistem model Sains tersebut. Karena itulah, output dari Sains bukanlah kebenaran realitas per-se, tapi narrative of reality. Narasi tentang realitas.
Dengan demikian, semua statemen yang keluar dari Sains, harus dipahami pada konteks naratif ini. Statement dari para pelaku Sains dikatakan bagian dari narasi Sains, jika statement tersebut tidak mengganggu konsistensi model Sains secara keseluruhan. Perlu dicermati lagi, relasinya ada pada model Sains secara keseluruhan. Bukan kepada kebenaran ‘real’ world.
Efek Samping Tak Terduga
Coherence truth membawa Sains selangkah lebih maju. Tapi pandangan ini juga menghasilkan implikasi lain yang signifikan. Jika truth diletakkan pada konsistensi sebuah sistem, Sains tak bisa lagi disebut sebagai yang paling mendekati kebenaran realitas. Karena sistem lain (seperti Agama) juga memiliki derajat konsistensi di dalam sistemnya dengan aksioma yang dipilih; juga metode deduksi yang dipakai dalam sistemnya.
Masalah aksesibilitas terhadap realitas ‘real’ world yang silent ini menghantui model realitas manapun yang dipakai di muka bumi sampai sekarang. Sains, Agama, Kebatinan, apapun, punya masalah yang sama. Karena wasitnya, si ‘real’ world, tidak mengeluarkan skor akurasi apapun. Masih diam.
Alih-alih mempertajam konsep kebenaran, konsep ini justru membuka pintu pada masalah lain: Extreme Relativism. Dengan extreme relativism, semua klaim tentang kebenaran menjadi sama validnya dari sistem model manapun, asal konsisten internally. Truth pada ‘real’ world jadi hilang karena pandangan ekstrim bahwa semua yang disebut kebenaran hanyalah konstruksi individu. Kebenaran tergantung pada frame of reference individual. Ini bikin susah, terutama kalau truth (atau derajatnya) diperlukan untuk mengambil sebuah keputusan penting yang berhubungan dengan orang banyak.
Jalan Tengah
Critical Realism (A Realist Theory of Science, 1975, Roy Bhaskar). Konsep kunci yang dibawa di sini adalah terjadinya pemisahan antara ‘real’ world dan ‘observable’ world. ‘Real’ worldtak dapat diobservasi, bebas, dan independen dari semua perspektif teori dan konstruksi manusia. Sementara dunia yang kita pahami lebih disebut sebagai ‘observable’ world karena dibangun dari perspektif dan pengalaman manusia.
Konsep ini menjawab epistemic fallacy yang sering dipakai (termasuk dalam polemik ini), yang mereduksi kata ‘real’ (ontological statement) menjadi apa yang kita ketahui atau pahami tentang ‘real (epistemic statement). Dalam hal ini, ‘real’ world adalah mekanisme yang tak bisa diobservasi yang menghasilkan event kejadian (bisa diobservasi). Epistemologi dan Ontologi adalah terpisah.
Terlihat dengan jelas bahwa‘real’ world memang tak tersentuh sedikitpun. Yang dilakukan Sains adalah membangun model sedikit demi sedikit, hipotesis demi hipotesis, yang masa hidupnya bergantung pada tingkat kongruensi hipotesis tersebut pada fenomena yang tengah diuji. Jika ada yang lebih presisi, matilah dia. Sekali lagi, apakah Sains menjelaskan fakta? Menawarkan kebenaran realitas kehidupan? In a sense; tidak. Sains ‘hanyalah’ membangun model, dengan derajat konfirmasi tertentu pada hipotesisnya, di dalam modelnya. Narrative of reality.
Suara dari Dunia Matematika
Matematika menjadi alat utama komunikasi di dunia Sains natural, baik dengan kuantifikasi-kuantifikasinya, juga kemampuan untuk merangkum relasi logis dengan simbol-simbolnya. Richard P. Feynman berpendapat, “Mathematics is languange plus reasoning; it is like a languange plus logic. Mathematics is a tool for reasoning”.
Karena Matematika mempunyai presisi logis yang sangat akurat, bebas dari bias dan perspektif manusia, Matematika menjadi sangat cocok dijadikan alat untuk sebuah perjalanan yang membutuhkan objektivitas maksimal yang bisa dicapai. Bisa dikatakan pula, jantung dari Sains natural adalah Matematika.
Mengingat yang tadi. Jika derajat kebenaran dari Sains pada ‘observable’ world berhubungan langsung dengan konsistensi Sains secara keseluruhan, rasanya mudah membuat asumsi bahwa semakin Sains berkembang dan tetap konsisten, semakin dia mendekati kebenaran dari ‘observable’ world tersebut. Coba kita tanya Matematika.
‘Pengkhianatan’ Matematika
Terjadi drama ‘pengkhianatan’ Matematika pada tahun 1931 yang dimotori oleh Kurt Godel dengan Godel’s incompleteness theorem-nya. Penulis akan coba mengelaborasi sesingkat-singkatnya (might suffer on precision), tanpa menggunakan Matematika formal.
Ada dua komponen pada Godel’s incompleteness theorem. Pertama menyatakan bahwa, pada sebuah sistem aksiomatis dan cukup ?????????? pasti memiliki properti bahwa sistemnya tidak komplit atau tidak konsisten. Kedua, kalaupun sistem itu konsisten, bukti bahwa dia konsisten tidak bisa disediakan oleh sistem itu sendiri.
Mari kita kaji Sains. Apakah Sains adalah sistem aksiomatis? Tentu saja. Sains memiliki aksioma seperti Principle of Finality, of Causal Closure, of Sufficient Reason, of Contradiction, of Noncontradiction, dan lain sebagainya.
Apakah Sains cukup expressive? Ini tidak mudah dijawab tanpa simplifikasi. Penulis akan coba menggunakan generalisasi (broad stroke). Jika expressive didefinisikan sebagai: kemampuan sebuah model untuk melakukan operasi dasar aritmatika (tambah-tambahan dan kali-kalian); maka kita bisa mengambil relasi bahwa sub-model Sains yang menggunakan Matematika dalam sistemnya, telah mengandung properti expressive ini. Hampir semua Sains natural mengandalkan Matematika untuk mengekspresikan hipotesis ataupun mengolah datanya.
Syarat aksiomatis dan expressiveness terpenuhi oleh Sains. Maka menurut Kurt Godel, sistem Sains adalah selalu tidak akan komplit, dan tidak akan pernah bisa membuktikan kekonsistenannya sendiri. Yang berarti, tak akan pernah bisa mendeklarasikan/membuktikan tingkat kebenarannya terhadap ‘real’ world. Tada….
Predictive Power of Science
Dengan beberapa pemahaman di atas, apakah berarti Sains jangan sampai jadi panglima? Istirahat dulu, terutama soal Covid-19, seperti di tulisan Pakde GM? Nanti dulu.
Dengan segala kelemahan Sains dan semua model yang lain pada kebenaran ‘real’ world, jangan sampai juga kita rabun melihat kekuatannya yang lain. Cek lagi catatan metode ilmiah. Kekuatan Sains bukanlah pada statemen kebenarannya sebagaimana yang sudah dibahas panjang lebar. Tapi lebih pada kekuatan prediksinya (predictive power). Model terhadap‘observable’ world yang dibangun Sains natural mampu melakukan prediksi yang sangat a̶k̶u̶r̶a̶t̶ presisi pada ‘observable’ world yang kita alami.
Pendapat tentang kepongahan Sains(tisme) Pakde Ulil menurut penulis berakar dari ketidak-pahaman terhadap peta di atas. Jika kedua sistem (agama dan Sains) dihadapkan pada lapangan ‘kebenaran’, tentu mereka punya narrative of reality berbeda. Masing-masing punya aksioma, metode deduksinya, dan punya konklusi sendiri. Keduanya tidak akan pernah bisa membuktikan ‘kebenaran’ sistemnya kepada sistem yang lain. Ataupun membuktikan kebenaran sistem lain dengan sistemnya sendiri. Karena balik lagi, memang narrative of reality-nya berbeda. Sementara, hakimnya, masih diem-diem saja sampai sekarang.
Melihat dari sudut pandang ini, maka tidak akan pernah terjadi titik temu. Dan masing-masing penganut sistem akan pongah dengan asumsi ‘kebenaran’ sistemnya. Ini amat sangat wajar sekali banget. Lahirnya saintisme, fideisme, datang dari kesetiaan naif terhadap narrative of reality yang dipegangnya. Pongah atau naif? Balik lagi, kacamata narasi mana yang dipilih. Oh… Indahnya puisi rekursif.
Titik Temu: Best of both Many Worlds
Titik temu untuk kemaslahatan manusia dari sistem yang berbeda, demi mencapai hasil optimal masih bisa dilakukan. Pertama, iseng-iseng kita perlu menyadari, bahwa debat Agama versus Sains mirip seperti debat orang rabun jauh lawan orang rabun dekat. Kok bisa? Coba kita geser lapangannya. Bukan lagi pada lapangan kebenaran, kita pindah lapangannya pada kekuatan dan tempat prediksinya. Sains natural mempunyai kekuatan prediksi luar biasa pada ‘observable’ world sampai jangkauan tertentu, hal tersebut terbukti dari ledakan kemajuan teknologi hingga saat ini.
Tapi sehebat-hebatnya Sains, tidak akan pernah bisa membuat prediksi melewati batas kematian manusia (in relation to conscious experience). Sains tak punya hipotesis apapun terhadap dunia setelah kematian, sebab metode deduksinya memang tidak memungkinkan. Sementara model agama punya depiksi dan prediksi yang sangat jelas terhadap dunia setelah kematian. Inilah seolah-olah Sains rabun jauh dan Agama rabun dekat. Jika kita menyadari peta ini, siapakah panglima di area mana menjadi lebih jelas (tentu asumsinya jika gol bersama adalah kemaslahatan sebanyak-banyaknya manusia).
Covid-19
Ketika terjadi pandemi Covid-19 seperti saat ini, definisi masalah lahir dari model Sains. Dan kita pahami bersama, jalan dari memecahkan masalah adalah terlebih dahulu mengakui dan mendefinisikan masalahnya. Karena itulah, panglima paling tepat menghadapi Covid-19 ini adalah Sains. Jangan sampai dia malah istirahat. Suruh cari terus solusinya! Untungnya Sains terus berjalan meskipun tanpa disuruh. Beda cerita kalau pandemi ini dideklarasikan pertama oleh model Agama. Pandemi Jin Merah dan Setan Pocong, misalnya. Maka panglima yang paling tepat untuk menghadapi kasusnya adalah model Agama.
Perjalanan pencarian kebenaran tidak akan pernah berhenti, tapi masalah di depan mata selalu ada dan sering berganti. Penulis merasa kita perlu rendah hati terhadap semua kemungkinan sistem model. Mereka pasti punya sesuatu yang ditawarkan. Mana yang dijahit untuk memecahkan masalah, itu pertimbangan berikutnya.
Bulan Maret 2020 lalu, penulis pernah menawarkan metodologi menghadapi Covid-19 di Indonesia. Termasuk di dalamnya menghitung pertimbangan yang diolah dari sistem model Sains, Agama, Ekonomi, dan Kebatinan (mungkin perdukunan), tapi tentu saja tidak digubris. Wajar.
Wajah Indonesia
Sebelum pandemi Covid-19 -pun kita sudah mengalami yang disebut sebagai wicked problem (versi definisi C. West Churchman, 1967). Sebuah masalah yang sangat susah atau hampir tidak mungkin untuk dipecahkan. Karena yang kita ketahui atas komponen persyaratan untuk memecahkannya tidak komplit, kontradiktif, dan berubah-ubah. Interdependensi komponen di dalamnya yang begitu kompleks membuat usaha untuk memecahkan masalah tersebut malah mengungkap atau membuat masalah berikutnya.
Kemudian datang Covid-19. Tidak boleh kita oversimplifikasi bahwa ini hanya masalah Sains. Bila dikawinkan dengan wicked problem yang sudah kita miliki, faktor tersebut menambah kompleksitas wicked problem menjadi lebih monster.
In Respect to Wicked Problems
Mungkin kita perlu mencoba metodologi yang baru. Coba perhatikan semua model dan tanyakan definisi: ada masalah apa menurut ‘mereka’. Formulasi masalah dari sebuah model tak akan lepas dari aksiomanya. Formulasi prediksi akan terlokalisasi pada area terkuat dimana aksiomanya tertata menjadi teorema. Keragaman ini menyediakan probabilitas lebih tinggi untuk mengenal masalah wicked problem pada kerangka yang lebih koheren antar-model. Tidak hanya intra-model.
Semoga kemudian debat tidak akan lagi pada urusan kebenaran. Tapi lebih pada jalan untuk memecahkan masalah. Urusan benar atau salah, efektif atau tidak, nanti ‘observable’ world akan bereaksi dengan sendirinya. Time will tell. Kita mau debat seperti apapun soal kebenaran, tetep aja ‘real’ world diam dan senyum-senyum sendiri. Kita hanya perlu memformulasi hipotesis selengkap mungkin dari semua model yang tersedia.
Ketika kita semua tertuju pada pemecahan masalah, pada sistem prediksi modelnya masing-masing, salah satu pihak masih tetap bisa melakukan riset, yang lain wiridan, mendoakan, ada yang bakar menyan, dan lain-lain. Masalah dikeroyok bersama dengan sistematis berbagai model. Tak ada yang ditinggal, semua ikut serta. Kemudian, kemungkinan bahwa monster wicked problem bisa dikalahkan akan menjadi lebih besar. Kalaupun belum kalah, minimal kita dapat laba berupa keindahan. Jadi modal kekuatan untuk melanjutkan perjuangan.
Eksplorasi Possibility
Terasa utopis? Bisa jadi. Belajar sedikit dari sistem yang paling solid koherensinya sampai saat ini menurut penulis, yaitu Matematika. Bahasa symbolic-nya mampu membawa kita ke tempat-tempat yang oleh pengalaman tak mampu menjangkaunya. Lipatan-lipatan dimensi yang diprediksi fisika, yang kita tak mampu membayangkan akan sangat mudah dijangkau dan dialami dalam simbolisme Matematika.
Bahasa Matematika tidak menghilangkan esensi manusia pada Sains. Ketidakpahaman pada bahasa Matematika formal hanya seperti penulis yang tak paham bahasa korea. Tidak paham bahasa korea seharusnya tak menghilangkan kemanusiaan, bukan?
Matematika menyediakan dunia yang berbeda. Pasti bukan ‘real’ world. Ataupun ‘observable’ world. Dia menyediakan ‘symbolic’ worldl, dunia abstract, imaji, tapi punya properti koherensi logis yang tinggi. Tingkat konsistensinya sampai disebut sebagai bahasa untuk berkomunikasi dengan jagat raya.
“Mathematics is the language with wich God has Written the world” (Galileo G.)
Kita sudah membedakan ‘real’ world dan ‘observable’ world. Tapi sudahkah kita efektif mengeksplorasi ‘symbolic’ worldl? Bukan berarti semua harus tahu Matematika. Tapi tentang adanya dunia imaji yang penuh kemungkinan, dibingkai dengan konsistensi dan keistiqomahan.
Coda
‘Real’ World mungkin akan terus diam. Tapi dia tak pernah gagal mengikuti apapun yang kita jogetkan. Instrumen manalagi yang harus kita tabuh? Agar kita tak berhenti tumbuh?
Untuk kita yang hidup bersama, mungkin nada memang berbeda, tapi simfoni harus tetap ditembangkan. Yang mungkin bisa membawa kita ke tempat yang belum pernah terbayangkan.
Yogyakarta, 10 juni 2020