Menteri Nadiem Makarim ini bisa kita lihat sekarang bahwa kebijakannya berani merombak struktur lama dan rumit, merubahnya menjadi fleksibel serta memberi bumbu sedikit kapitalisme di dalamnya. Saya sangat mengapresiasi dengan persaingan yang dibuka untuk merombak institusi Pendidikan di Indonesia dengan investasi dan inovasi. Adanya persaingan terbuka sekolah lokal dengan internasional akan banyak merubah tatanan Pendidikan jika regulasinya mendukung elastisitas perubahan yang akan menjadi sebuah kebijakan.
Adanya konsep kampus merdeka akan membuat mahasiswa akan bebas memilih prodi atau kampus selain prodi basic yang dia pilih. Suatu pilihan yang saya impikan mungkin jika masih kuliah karena saya mempercayai hakikat ilmu itu teramat luas dan fokus terhadap satu bidang keilmuan saja akan membuat sudut keilmuan yang lancip dengan seperti ini sekat keilmuan akan terhapus dan tidak aka nada lagi istilah “salah jurusan” selain kata malas dan tidak mau mencari.
Hambatan dari kampus merdeka ini datang dari aliran konservatisme yang berusaha mempertahankan alur keilmuwan dengan argumentasi setiap ilmu harus dimulai dari awal terlebih dahulu. Tetapi bagi saya ini sangat formalistik, jika saya misalnya salah satu mahasiswa sosiologi yang ingin mengambil mata kuliah komunikasi politik di fakutas kumunikasi, bukan berarti jika saya tidak belajar pengantar ilmu komunikasi (di dalam kelas, di dalam ruangan, dengan dosen) saya dilarang untuk mengikuti mata kuliah komunikasi politik ? itu artinya bahwa institusi Pendidikan tidak menaruh kepercayaan terhadap peserta didiknya bahwa mereka bisa belajar sendiri. Ilmu pengetahuan tersebut bisa didapat dari buku, diskusi dan seminar-seminar yang sering diadakan di kampus.
Anggapan yang Keliru Jika Melihat Pendidikan di Indonesia Bergaya Kapitalisme atau Komunisme
Menurut Vernom Smith definisi Pendidikan tradisional yang menjadi dominan dan mewakili atas suatu system yang baik. Ciri-ciri utama Pendidikan tradisional sebagai berikut:
- Anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis tertentu.
- Mereka kemudian dimasukan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berasarkan umur.
- Anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut beberapa usia mereka pada waktu itu.
- Mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran.
- Prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada.
- Guru memikul tangung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ada.
- Sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks.
- Promosi tergantung pada penilaian guru.
- Kurikulum berpusat pada subjek-subjek akdemik.
- Bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks.
Pertanyaanya adalah mengapa Pendidikan tradisional ini bertahan lama jawabanya terletak pada kepuasan konsumen. Pendidikan adalah bisnis besar dan masyarakatlah yang mendanai kelangsungan hidup sekolah-sekolah ini yang tidak lebih hanya satu ruang kelas dan satu orang guru.
Akan tetapi teori tentang pembelajaran tradisional ini tidak dirumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam sistem Pendidikan tradisional. Prinsip-prinsip tentang belajar (apa itu belajar dan bagaimana cara belajar) ditanamkan kedalam sistem persekolahan, diturunkan kepada sekolah dan diemban oleh guru perseorangan.
Selanjtunya, motivasi didasari hukuman, ganjaran atau hadiah, dan persaingan. Banyak guru yang memanfaatkan hal tersebut secara terus menerus tanpa sadar. Para guru menyangkal sering menggunakan metode tersebut meskipun sebagian murdinya merasa dihukum. Lalu tekanan dalam persaingan menggugurkan sedikit keahlian untuk menjalin kerjasama dalam belajar mengajar, kalimat “kerjakan sediri” itu memberi tanda bahwa tindakan membantu atau memberi bantuan adalah tindakan yang keliru karena didalam kelas tradisional jarang sekali tugas yang menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama.
Lalu penekanan belajar dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan, saking kelewat menekankan metode hafalan institusi Pendidikan tidak menyiapkan orang untuk hidup di dunia pengetahuan yang cepat berubah dan meluas.modus domain pengajaran dimana guru dominan berbicara, guru memborong isi dan bahan percakapan setiap waktu. Penerapan Pendidikan tradisonal terbagi menjadi beberapa poin seperti (kurikulum akademik dan non akademik, evaluasi belajar, bimbingan dan penyuluhan.
Beranikah Pendidikan Membangun Tatanan Sosial yang Baru
Konon Pendidikan adalah semacam intiasari murni dan mistis yang takkan lekang oleh waktu dan kekal tegak selama-lamanya. Menurut pandangan ini pendidikan sejati musti sepenuhnya terceraikan dengan politik, dan jauh dari kehidupan sosial, dan sepenuhnuya mengejar tujuannya sendiri-sendiri. Inilah kekeliruan yang paling berbahaya karena Pendidikan secara filosofis memiliki semangat horizontal dan vertikal dalam artian memperkuat keimanan dan membangun tatanan sosial yang lebih baik.
Lebih lanjut proses Homonisasi Human (penyeragaman manusia) melalui praktik pendidikan tradisional dan strategi belajar yang sempit harus kita re-orientasi kembali menuju strategi pendidikan yang lebih humanis dengan paradigma kritis. Pandangan kritis ini akan membuka cakrawala peserta didik menjadi lebih luas dalam melihat dunia, gagasan tersebut harus aktif dalam pengebangan demokrasi dan basis nilai, pengembangan hak asasi manusia serta otonomi daerah dalam Pendidikan dan kebudayaan.
Reorientasi ini dapat di wujudkan dengan kesadaran bersama bahwa paradigma dan gagasan lama harus cepat dirubah demi menjawab tantangan zaman. Kita seharusnya memfokuskan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang lebih aksiologis karena jika masih berdebat dengan metode dan teknis maka kita masih belum siap untuk merubah paradigma lama Pendidikan.
Pertanyaan seperti “apakah demokrasi memberi hasil yang dikehendaki?”, “apakah kebebasan akademik sudah memajukan nilai kebenaran?”, “mau diterapkan dimana metode ilmiah itu?”, “tentang apa yang mesti diajarkan?”. Jika masih gagal move on dengan paradigma lama Pendidikan, demokrasi layaknya seperti tidak punya masa depan, tidak ada pememnuhan, dan tidak ada titik akhir.
Inilah akhir dari bentuk akhir liberalisme Pendidikan dengan metode tradisional ala Amerika, dimana tidak ada makna paripurna yang bisa dipeluk dengan sepenuh hati. Bagaimanapun jika mayoritas siswa/mahasiswa diarahkan kearah liberal akan memantulkan kehampaan yang luar biasa. Vernom Smith mengatakan bahwa nasib demokrasi bertumpu pada Pendidikan warganegarannya, maka masyarakat dan golongan pendidik professional musti menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sasaran Pendidikan, seperti:
- Apakah sekolah-sekolah sudah menyiapkan sumberdaya manusia yang akan membawa mereka kea bad-21?
- Apakah sekolah-sekolah sudah mempersiapkan seluruh warganegara untuk menanggapi dampak-dampak pemerintah, bisnis, media massa, dan system Pendidikan terhadap kualitas hidup bangsa dimasa sekarang dan yang akan datang?
- Bila eksperimen demokratik gagal, akankah itu terjadi gara-gara konsep politisnya salah ataukah akibat proses pendidikannya yang tidak efektif?.