Konsep yang diberikan oleh umat islam Indonesia terhadap sistem dan kedaulatan Indoneisa telah final. Tanggung jawab dalam mengawal dan menjaga kedaulatan serta eksistensi Negara Indonesia merupakan tanggung jawab terbesar bagi umat islam Indonesia sebagai mayoritas penduduk dan sebagai warganegara.
Dengan tidak meninggalkan jatidiri sebagai masyarakat yang beriman, umat islam Indonseia dituntut mengintegrasikan negara dan agama guna melindungi seluruh warganegara Indonesia, sehingga sangat logis ketika hukum islam dijadikan sebagai sumber pembentukan hukum nasional, bersanding dengan hukum adat.
Sebagaimana Pasal 29 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang kemudian ditafsiri oleh Hazairin, ia berpendapat tidak dibenarkan adanya pemberlakuan norma hukum didalam sebuah peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan norma hukum islam bagi pemeluk agama islam, begitu juga dengan umat-umat agama lain yang diakui keberadaannya di Indonesia. Sehingga fungsi negara bukan hanya menjamin dan melindungi hak serta kepentingan warga negara dalam menjalankan agamnya, tetapi negara turut serta mengakomodir warganegara dalam menjalankan sepenuhnya agama yang dianut.
Pengadilan Agama yang telah mengakar kuat di Indonesia menjadi interpretasi bentuk pengakomodiran negara melalui PP Nomor 45 Tahun 1957 yang kemudian lebih lanjut diakui eksistensinya melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Jis. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Bersifat khusus peradilan agama hanya menyelesaikan perkara-perkara tertentudan bagi masyarakat islam, termasuk persoon atau recht persoon yang secara sukarela menundukkan diri pada hukum islam yang menjadi kewenangan pengadilan agama (perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah).
Pada sekitar awal1958 Biro Peradilan Agama, Departemen Agama, melalui Surat Edaran No. B/I/735 tertanggal 18 Februari Tahun 1958 mengintruksikan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyahuntuk merujuk kepada 13 kitab fiqhdidalam menyelesaikan perkara-perkara di Peradilan Agama. Pada kenyatan di lapangan, surat edaran tersebut belum dapat menyatu-padankan putusan Pengadilan Agama terhadap suatu perkara yang relatif sama.
Hal tersebut dikarenakan Hakim Pengadilan Agama memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam menafsirkan dan menerapkan fiqh pada suatu perkara.Latar belakang tersebut yang kemudian memaksa Negara untuk membentuk sebuah sumber hukum materiil guna menjaga martabat Hakim didalam lingkup Peradilan Agama dan mewujudkan kepastian hukum bagi umat islam Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam yang kita ketahui saat ini merupakan upaya negara dalam menjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat islam, ianya juga dibentuk atas asas kemaslahatan, kemanfaatan serta keadilan. Tidak semudah yang dibayangkan, Kompilasi Hukum Islam melalui rentetan sejarah panjang dalam pembuatannya. Cikal-bakal dalam usaha mengkodifikasi hukum islam ditandai dengan lahirnya Panitia Kerjasama antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dengan kepususan Ketua Mahkamah Agung No. 64/KMA/1976 pada tanggal 16 September 1976.
Diantara keberhasilan dari kerjasama tersebut yaitu: Penyusunan Kompilasi Hukum Acara Peradilan Agama I (1984), II (1985), dan II (1986) serta Penyusunan Kompilasi Hukum NTR I dan II (1985). Selanjutnya pada 25 Maret 1985 ditandatangani Surat keputusan Kerjasama Ketua mahkamah Agung Dan Menteri Agama No. 17/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, dengan jalan Kompilasi Hukum. Secara garis besar kerjasama dalam pembangunan Hukum islam diatas menghasilkan sebuah lokakarya yang kemudian dibukukan dengan memuat rumusan Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan.
Melalui surat No. MA/123/1988 tertanggal 14 Maret 1988, Menteri Agama secara resmi menyerahkan Rancangan Kompilasi Hukum Islam kepada Presiden.Dengan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991, Presiden memberi perintah kepada instansi pemerintah dan masyarakat yang membutuhkan dan hendak menyelesaikna masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dari sini dapat digaris bawahi, dasar hukum pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam adalah Inpres No. 1 Tahun 1991.
Dilihat dari konsep ketatanegaraan pra-Amnandemen UUD 1945, mengutip pendapat Tahir Azhari, Barmawi Mukri menuliskan bahwa:
“dikeluarkannya Inpres. No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam merupakan tindakan yang tepat karena Inpres itu berisi perintah Presiden kepada pembantunya, dalam hal ini Menteri Agama, agar ia menyebarkan Kompilasi Hukum Islam kepada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama dengan maksud agar Kompilasi Hukum Islam itu dapat dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara warga negara yang beragama islam yang berkaitan dengan perkara atau masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan“.
Sependapat dengan argumen diatas, Abdullah Kalib berpendapat bahwa Intruksi Presiden sah-sah saja dikeluarkan dan memiliki kekuatan hukum, dengan catatan Intruksi Presiden harus tetap sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPR, dan Undang-undang yang masih berlaku. Konsep ketatanegaran pra-Amandemen memberikan ruang kepada Presiden untuk mengeluarkan Intruksi kepada menteri sebagai pembantu Presiden.
Walaupun tidak disebutkan secara explisit didalam UUD 1945 maupun didalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, namun dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan kala itu Intruksi Presiden merupakan hal yang lazim dilakukan, mengingat fungsi presiden pra-Amandemen sebagai pembuat juga yang menjalankan norma hukum yang bersifat mengatur (regeling) maupun menetapkan (beschikking).
Selain itu Inpres ditafsiri memuat norma yang bersifat abstrak, umum, dan berlaku terus-menerus dan ianya disejajarkan dengan norma yang terkandung didalam undang-undang. Menguatkan pendapat diatas, Abdullah Kelib berpendapat Intruksi Presiden adalah kewenangan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, yaitu kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan negara.
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Intruksi Presiden adalah Keputusan Presiden sebagaimana mestinya, nama yang berbeda tetapi memiliki kedudukan hukum yang sama. Keputusan Presiden dalam topik ini dimaknai sejajar dengan undang-undang (Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yangbersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturanPemerintah).
Dewasa ini konsep ketatanegaraan berubah pesat, amandemen UUD 1945 merubah seluruh aspek di dalam negara hingga ketatanan yang terkecil. Hal ini berimplikasi besar terhadap perubahan sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, kekuasaan kehakiman, dan lain-lainnya. Konsekunsinya dinamika didalam hierarki perundang-undangan dan segala prosesnya mengalami perubahan yang signifikan.
Dilihat dari tolak ukur ketatanegaraan pasca-Amandemen, para ahli belakangan ini melihat Kompilasi Hukum Islam merupakan cara instan Pemerintah dalam mengisi kekosongan hukum materiil di Peradilan Agama. Ianya dipandang sebagai bentuk kegagalan dan kemandulan dalam pembentukan hukum positif perdata islam melalui jalur formal ketatanegaraan. Selain itu dari sudut pandang konstitusi, kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebatas hukum terapan yang telah keluar dari gagasan utama pembentukannya.
Pergolakan mengenai legalitas kedudukan Kompilasi Hukum Islam di muka Hukum Nasional sesungguhnya telah dimulai kala pertama dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 tersebut. Kaum formalistik menganggap lahirnya Kompilasi Hukum Islam kurang memenuhi syarat perundang-undangan.
Adapun pada kenyataan ketetanegaran sekarang dasar hukum Intruksi Presiden tidak didapati didalam UUD NRI, Tap MPR No. III tahun 2000, maupun didalam UU No. 10 tahun 2004 Jo. UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga Inpres tidak memiliki kekuatan hukum, hakim Pengadilan Agama dan yang berada diruang lingkupnya tidak terikat Hukum Kompilasi Islam sebagai sumber materiil utama didalam memutuskan suatu perkara. Sehingga disparitas putusan antar Pengadilan Agama tidak terelakkan.
Jika Inpres dimaknai sebagaimana halnya dengan Ketetapan Presiden maka hal ini tidaklah tepat. Pemaknaan Keputusan Presiden pra-Amandemen berbeda dengan pemaknaan Keputusan Presiden pasca-Amandemen. Diman Keputusana Presiden pra-Amandemen bersifat abstrak, umum, dan berlaku terus-menerus sedangkan Keputusan Presiden pasca-Amandemen bersifat konkret, individual, dan final (sekali selesai).
Selain itu ketika Inpres ditafsiri bersifat abstrak, umum, dan berlaku terus-menerus serta dipersamakan dengan norma yang terdapat didalam undang-undang maka dilihat dari perkembangan ketatanegaraan sekarang ini Presiden tidak dibekali wewenang dalam membuat norma yang sejajar dengan undang-undang. Adapun produk hukum dari presiden yang dapat disejajarkan dengan norma hukum undang-undang adalah Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang yang ianya dapat dibentuk dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Secara sosiologis Kompilasi Hukum Islam dapat diberlakukan karena keterbutuhann masyarakat akan hukum itu sendiri. Jika dikaitkan dengan teori realisme atau teori fungsional maka perangkat hukum tidak harus diciptakan secara kaku sepertihalnya menurut hukum tatanegara. Tetapi seyogyanya hukum dibentuk bukan hanya atas dasar kemanfatan semata, tetapi juga mempertimbangkan segi keadilan dan kepastian hukumnya.
Dilihat dari sudut pandang yuridis normatif manapun Kompilasi Hukum Islam tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk digunakan sebagai sumber materiil Pengadilan Agama. Kompilasi hukum Islam tidak bersifat mengikat ianya sebagaimana kitab-kitab fiqh lainnya maupun fatwa-fatwa ulama pada umumnya. Dengan demikian Kompilasi inipun tidak dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat islam, disparitas putusan yang kemudian menjatuhkan martabat hakim dilingkungan Pengadilan Agama, dan tereduksinya hak-hak konstitusional warga negara serta rasa keadilan.Sehingga legalitas Kompilasi Hukum Islam adalah sangat dibutuhkan guna menjamin adanya kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan.
Pada dasarnya muatan yang terkandung didalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagaimana yang terkandung didalam undang-undang, sehingga langkah yang harus ditempuh adalah memproses legislasi syari’at islam dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam mnjadi setingkat peraturan atau undang-undang.