Pendidikan seperti menanam, tunas-tunas itu jika dirawat dan disiram dengan air yang jernih akan tumbuh menjadi tunas yang unggul dan membawa Indonesia kearah yang lebih baik. -Soekrasep –
Pada dasarnya Pendidikan merupakan sebuah proses pembebasan manusia dari belenggu struktur dimana segelintir kelompok masyarakat dapat membawa bencana bagi masyarakat secara keseluruhan. Rasa saling membebaskan ini yang kemudian menjadi pondasi kuat yang dibangun oleh founding father bangsa Indonesia. Karena demi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpuh darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti apa yang termuat dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945.
Pendidikan hadir sebagai metode dari cita-cita luhur bangsa Indonesia. Pendidikan seperti menanam, tunas-tunas itu jika dirawat dan disiram dengan air yang jernih akan tumbuh menjadi tunas yang unggul dan membawa Indonesia kearah yang lebih baik.
Manuver Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Diawal masa kerjanya sebagai Menteri Pendidikan yaitu bapak Nadiem Makarim bermanuver dengan menegaskan apa yang akan beliau kerjakan dan rubah terhadap dunia pendidikan Indonesia.
Yang pertama, penghapusan Ujian Nasional. Lalu bagaimana jika tidak Ujian Nasional ? tolak ukur dari Pendidikan di Indonesia akan dinilai dari mana ?, nah bapak Menteri Nadiem Makarim akan merubah sistem Ujian Nasional yang sering menjadi momok kegelisahan bagi siswa akhir baik SD, SMP, maupun SMA menjadi system assessment nilai. Siswa nantinya akan dilihat dari berbagai kemampuan seperti kemampuan literasi (Bahasa), kemampuan numerisasi (angka) dan pengemabangan karakter.
Kedua, kebijakan mengenai deregulasi dan debirokratisasi karena dianggap sering berbelit-belit dan usaha bantuan sekecil apapun agar tidak terpotong ditengah jalan oleh oknum-oknum di dunia pendidikan dirasa kebijakan ini sangat tepat jika melihat kasus terakhir yang terjadi di Cianjur dimana orang nomor satu di Cianjur harus berurusan dengan KPK setelah terindikasi melakukan praktek korupsi di lingkungan Dinas Pendidikan.
Pemangkasan jalur birokrasi bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut agar bantuan sekecil apapun dari pemerintah pusat dapat dikelola dan sampai kepada peserta didik yang membutuhkan. Hal tersebut didukung juga dengan pemberdayaan teknologi sehingga budget dan waktu serta hal-hal yang bersifat administratif dapat disederhanakan dan lebih efesien.
Ketiga, peningkatan inovasi dan investasi hal ini dapat membuka sekolah-sekolah dari luar negeri untuk berinvestasi dan membangun sekolahnya di Indonesia agar sekolah-sekolah lokal dapat belajar dan sharing terkait metode pembelajaran dengan demikian sekolah lokal tidak terlihat kaku dan dapat mengembangkan pendidikan. Terakhir, penciptaan lapangan pekerjaan dan wirausahawan.
Catatan Kritis Pembangunan Industri Pendidikan di Indonesia
Pertama agar lebih akurat saya ingin mulai dari perhitungan statistik yang menampilkan hasil dan capaian pendidikan, berikut data yang disajikan:
Tabel 1.1 Angka Melek Huruf (AMH) tahun 2019
Karakteristik | Kelompok Usia (Tahun) | ||
15-24 | 15-59 15+ | ||
(1) | (2) | (3) | (4) |
Total | 99,76 | 98,22 | 95,90 |
Tipe Daerah | |||
Perkotaan | 99,95 | 99,24 | 97,71 |
Pedesaan | 99,52 | 96,86 | 93,56 |
Jenis kelamin | |||
Laki-laki | 99,78 | 98,79 | 97,48 |
Perempuan | 99,75 | 97,64 | 94,33 |
Status Disabilitas | |||
Non Disabilitas | 99,81 | 98,32 | 96,48 |
Disabilitas | 95,13 | 91,50 | 78,63 |
Dari data diatas dapat dilihat bahwa angka melek huruf di Indonesia hampir mencapai angka sempurna, rata-rata diatas angka sembilan puluh. Klaim pemerintah yang mengatakan bahwa besaran angka tersebut melewati besaran rencana strategis kementrian Pendidikan dan kebudayaan tahun 2019 tentu harus kita apresiasi karena harapan yang dibangun dengan capaian angka tersebut bahwa akan berdampak terhadap peningkatan literasi terhadap informasi yang tidak hanya sekedar membaca tapi memahami apa yang telah dibaca.Meningkatnya kemampuan membaca ini akan membawa efek yang beragam seperti meningkatnya kualitas hidup, pemberantasan kemiskinan, penurunan angka kematian, dan sebagainya.
Tetapi hal tersebut sangat paradoks sekali dengan kenyataan yang ada di lapangan, dari angka melek huruf yang sangat besar ini salah satunya telah melahirkan generasi bisu. Generasi bisu ini yang sudah menjadi realita pribadi selama mengenyam pendidikan di Indonesia. Kita dipaksa dari bangku Sekolah Dasar (SD) sampai Menengah Keatas (SMA) untuk mendengarkan penjelasan dari seorang guru, tidak ada hal yang paling dinanti selain mendengrkan bel istirahat dan pulang sekolah saat itu. Ya karena malamnya kami disuruh mengerjakan tugas dan besoknya kita harus hafal agar nilai kita bisa bagus atau hanya sekederan membuat pertanyaan. Setelah itu? kembali lagi pada bel pulang sekolah yang menandakan kegiatan paling membosankan akan berakhir.
Dirumah kita dipaksa mengerjakan tugas matematika dan tidak ada yang lebih buruk lagi menjadikan rumah sebagai sekolah kedua. Tapi pada saat itu saya pribadi merenungkan hal itu kenapa dapat terjadi dalam diri saya, apakah siswa lain juga merasakan hal yang sama? Atau bisakah guru tersebut menemukan hal yang saya sukai dan dapat mengembangkan potensi dalam diri saya? Tidak ada salahnya mungkin jika teman sekelasku dikemudian hari sukses sebagai ahli manufaktur karena teman saya sangat mahir pengetahuan alam dan si bodoh ini akan suskses dengan bakat yang dimilikinya?.
Kemungkinan itu sangat bisa terjadi jika mlelihat segala penemuan yang kita pakai pada abad ini tidak dimulai dari kelas. Ya, Thomas Alva Edison merupakan salah satu contohnya, beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dan membuat eksperimen yang konon katanya eksperimen tersebut mengalami banyak kegagalan sampai pada akhirnya menemukan sebuah keberhasilan.
Hal lain yang menaruh perhatian khususnya pada Pendidikan adalah fenomena-fenomena yang sering ditemukan di lingkungan kampus. Mengemban status mahasiswa memang tidak mudah,disamping tuntutan membereskan studi kepada orangtua kita juga harus bisa memanfaatkan waktu yang diberikan dosen yang jarang masuk untuk lebih mengeksplore dan mengasah kemampuan pribadi.
Kepekaan sosialpun menjadi poin penting karena saya banyak bertemu anak rantau termasuk saya sendiri untuk lebih mengenal orang lain dan menambah relasi, setidaknya jika kehabisan stok makanan kita bisa mampir disekretariat organisasi atau silaturahmi ke kosan teman. Tapi jalinan yang terbentuk begitu erat ketika kita dihadapkan kepada permsalahan yang kompleks dan universal.
Selang tahun 2016 sampai sekarang kampus mengalami kenaikan biaya kuliah, kampus yang saya pikir dulu sebagai cita-cita terakhir untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan bisa dirasakan oleh semua kalangan seakan sirna dengan kebijakan tersebut. Forum Demokrasi Kampus yang membawahi mahasiswa progresif kala itu paling depan dalam menghajar kebijakan tersebut, bagaimana tidak? Kenaikan biaya kuliah semakin lama semakin naik tanpa adanya peningkatan kualitas Pendidikan.
Disaat aliansi mahasiswa progresif bergerak disaat itu pula saya melihat presentase mahasiswa yang bergerak dan diam atau bahkan ada juga mencaci makipun ada terlihat. Jumlah mahasiswa yang bergerak tidak lebih dari 0,02 % dari mahasiswa yang tidak berpatisipasi. Sisanya bisu, tidak tahu akan melakukan apa dan hal yang saya sadari saat itu adalah kebisuan merupakan titik puncak kesadaran bahwa kita hampa, kita berhala pada kedangkalan. Padahal saya pikir kalangan intelektual kampus adalah kelompok yang masuk pada kalangan yang melek huruf.
Nadiem Makarim akan mengembangkan pemberdayaan teknologi, kita harus menjawab hal tersebut dengan akal budi yakni kontrol terhadap mesin (teknologi). Untuk kepentingan siapa? Untuk tujuan apa? Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki bangsa ini? Menurut tradisi demokrasi, hanya ada satu jawaban: seluruh sumberdaya harus ditimba untuk kesejahteraan rakyat banyak.
Kelas elite yang tak henti mengeruk sumberdaya untuk kepentingan sendiri selalu bersiap bermanis mulut dan siap membela tindakan-tindakan ekspolitatif mereka dengan mantra “ini semua demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, “atau pak menteri bilangnya untuk efesiensi dan pemangkasan dristribusi bantuan”. Agar keuntungan-keuntungan tersebut sepenuhnya dinikmati rakyat, penipuan seperti itu harus mesti di perhatikan. Jika mesin itu adalah abdi masyarakat yang melayani semua orang tanpa memebda-bedakan, ia tidak mungkin menjadi milik segelintir manusia.
Terlebih dalam Pendidikan abad 21 kita diharuskan untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritis. Lantas untuk apa di desain demikian? Tidak ada jawaban dan penjelasan yang jelas mengenai hal ini dan ketidak jelasan mengungkap jubah pendidikan pada masa sekarang. Meski sudah disepakati bahwa lulusan terdidik akan menjadi pelayan yang taat pada kapitalisme dan liberalisme.
Kenapa saya mengungkap hal tesebut? Karena diantara bisikan malaikat selalu ada saja setan yang memaksa ikut campur dalam pengambilan keputusan. Jika melihat keputusan Menteri Pendidikan, dimulai dari yang pertama misalnya penghapusan Ujian Nasional sekilas itu menjadi angin segar bagi peserta didik dan kabar buruk bagi bisnis percetakan dan mafia nilai Ujian Nasional, akan tetapi adanya assessment nilai kemampuan lain yang meliputi aspek (kognitif, afektif dan psikomotor) serta pengembangan karekter akan membuka ruang kreatifitas para siswa/siswi sehingga kaum pelajar menjadi benteng dan pelopor dalam mengolah dan memberikan infromasi yang benar serta tidak terpengaruh oleh informasi yang keliru atau hoax.
Akan tetapi siapa sangka peningkatan mutu tersebut dilandasi oleh permintaan pasar kerja perusahaan yang menganggap bahwa pekerja Indonesia masih dianggap belum professional, saya pribadi tidak menolak bahwa Pendidikan mesti harus berhubungan dengan orientasi kerja tapi landasan tersebut sudah melenceng dari landasan falsafah Pancasila. Karena kerja adalah ekspresi manusia terhadap rasa syukur mereka terhadap apa yang ada disekeliling mereka (alam, roh, dan manusia) tidak bisa dipaksakan dan diperas bahkan dicampur adukan kedalam Pendidikan.