Kalau ingin melakukan perubahan jangan tunduk pada kenyataan, asalkan kau yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan. – Gus Dur
20 Oktober 1999 Majlis Permusyawarahan Rakyat (MPR) melakukan perhitungan suara yang mengantarkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dus terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004. Gus Dur yang maju dalam Pilihan Presiden (Pilpres) karena diusung koalisi poros tengah yang terdiri dari partai-partai Islam memenangi perolehan suara dalam votting di parlemen mengalahkan Megawati Soekaro Putri (Megawati) yang diusung PDIP.
Waktu itu ada penolakan yang sangat kuat atas naiknya Megawati, penolakan tersebut hadir dari kubu kelompok islam. Akhirnya muncul koalisi poros tengah. Meski ada beberapa tokoh yang akan dicalonkan salah satunya Gus Dur yang dipandang menjadi yang terkuat. Pada saat itu Amien Rais yang menggagas poros tengah sowan dan meminta izin agar Gus Dur bisa dicalonkan.
Para kiai sepakat memberi izin pencalonan dengan jaminan bahwa Gus Dur tidak akan diturunkan. Dengan disaksikan kiai-kiai Amien Rais pun menjamin posisi Gus Dur sebagai presiden dan tidak akan diturunkan. Meski meraih suara terbesar dalam pemilu 1999 PDIP yang dipimpin Megawati hanya memenangkan 33% suara dan tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen.
Kondisi ini menyulitkan putri Bung Karno dalam memenangi pilpres yang saat itu masih dilakukan melalui pemungutan suara di MPR. Kekalahan Megawati dalam pilpres yang sempat membuat pendukungnyai marah. Gus Dur yang menyadari potensi konflik akibat kegagalan Megawati menjadi presiden berhasil meyakinkan semua pihak untuk menjadikan Megawati sebagai Wakil Presiden.
Akhiranya, pada 21 Oktober 1999 Megawati ikut serta dalam pemilihan Wakil Presiden. Dan berhasil mengalahkan Hamza Haz dari PPP. Kebesaran jiwa Megawati terlihat ketika menghentikan upaya beberapa kader yang siap berjuang meski darah sebagai taruhannya. Tentu dengan memperaktikkan satu komando Megawati mengeluarkan keputusan yang merelatifkan kepentingan subjektif PDIP sebagai partai pemenang.
Dalam pemilihan yang dilakukan oleh majlis, Megawati ditetapkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Gus Dur. Dan kita ketahui bersama, melalui bacaan media pada saat itu pasangan ini dianggap sebagai pasangan yang mencerminkan koalisi antara golongan agama di satu pihak dan nasionalis di pihak lain. Dengan demikian, lahir wacana pasangan Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya mewadahi kedua golongan tersebut.
Setelah dilantik, duet Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang terdiri dari figur-figur partai politik, non-partisipan dan militer juga masuk pada kabinet.
Diawal pemerintahannya, Presiden Gus Dur membuat gebrakan kontroversial dengan membubarkan Departemen Penerangan yang dianggap sebagai senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Gus Dur juga membubarkan Departemen Sosial yang dianggapnya sebagai sarang korupsi.
Pada November 1999 Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan, Hamzah Haz mengundurkan diri. Tindakan Hamzah Haz ini diduga dilatar belakangi ketidak-setujuannya kepada rencana pemerintah membuka hubungan dagang dengan Israil.
Selama menjadi presiden, Gus Dur berupaya menggunakan pendekatan politik diplomasi dan meminimalkan pendekatan keamanan. Misalnya, dalam menangani konflik Aceh, Gus Dur mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi personil militer yang ditempatkan di Aceh. Sementara terkait konflik di Papua saat mengunjungi Jayapura Provinsi Irian Jaya Desember 1999 Gus Dur berupaya meyakinkan para pemimpin lokal di Papua untuk tetap bernaung dalam Republik Indonesia.
Gus Dur juga mendorong nama Papua mengganti nama Irian Jaya. Dan mentolerir pengibaran bintang kejora asalkan berdampingan dengan posisi yang lebih rendah di samping bendera merah putih.
Selama menjabat sebagai presiden, Gus Dur tercatat sangat sering melakukan perjalanan ke luar negeri. Lebih dari 30 negara dikunjungi Gus Dur saat ia menjadi Presiden. Tingginya frekuensi kunjungan Gus Dur keluar negeri ini sempat memunculkan kritik. Namun Gus Dur memiliki alasan sendiri mengapa hal ini harus ia lakukan.
Ketika usia pemerintahannya baru berumur beberapa bulan Presiden Gus Dur mulai melakukan sejumlah manuver untuk merealisasikan sejumlah agenda reformasi, salah satunya agenda reformasi militer. Saat melakukan kunjungan ke Eropa Gus Dur menyampaikan permintaan agar Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Gus Dur menilai Wiranto bisa menjadi halangan menjalankan agenda reformasi militer. Selain itu, Wiranto juga dituduh PBB melakukan pelanggaran HAM Timor Timur. Selain dengan TNI, hubungan Gus Dur dengan berbagai partai juga retak menyusul tindakan Gus Dur memecat sejumlah menteri di kabinetnya. Dengan alasan terlibat dalam kasus korupsi pada April 2000 Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Pemecatan yang tidak didasari bukti kuat ini memperburuk hubungan dengan Partai Golkar dan PDIP.
Masih di Tahun 2000, Gus Dur kembali diserang dengan tuduhan korupsi saat itu muncul dua skandaln korupsi yang dikait-kaitkan dengan Gus Dur. Hal ini sempat dijadikan amunisi lawan-lawan politiknya untuk kembali menyerang. Ketegangan yang sempat terjadi anatara Gus Dur dengan beberapa partai sperti partai Golkar dan PDIP akibat pencopotan menteri sempat mereda.
Pada sidang umum tahunan MPR tahun 2000 pidato Gus Dur diterima baik mayoritas anggota MPR. Dalam pidatonya Gus Dur menyatakan akan mewakilakan sebagaian tugas, anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas ini.
Namun harmoni politik yang sempat beberapa saat tercipta kembali diwarnai ketegangan setelah 23 Agustus 2000 Gus Dur mengumumkan Kabinet baru yang lebih ramping dan banyak mengambil figur non-partisan.
Menjelang akhir tahun 2000 sejumlah elit yang kecewa dengan beberapa kebijakan dan manuver Gus Dur mulai mengkritik dan mengungkapkan kekecewaan terhadap kepemimpinan Gus Dur.
Amien Rais menyatakan secara terbuka menyesal telah mendukung Gus Dur sebagai Presiden setahun sebelumnya. Pada 1 Februari 2001 DPR bersidang dan memutuskan nota terhadap Presiden Gus Dur. Nota ini berisi keputusan menggelar sidang istimewa MPR dimana pemakzulan terhadap presiden dapat dilakukan.
Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa workout memprotes keputusan sidang DPR ini. Rencana digelarnya sidang MPR untuk memakzulkan Gus Dur ini, mengundang protes keras dari kaum nahdliyin.
Di Surabaya, NU berunjuk rasa di depan DPW Partai Golkar. Meski Gus Dur sendiri berupaya meredakan kemarahan pendukungnya, dukungan terhadap Gus Dur terus berdatangan dari organisasi-organisasi dan warga NU. Sejumlah kelompok bahkan mengumumkan siap mati untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden.
Pada Maret 2001, Presiden Gus Dur membalas manuver kelompok oposisi dengan mencopot dau menteri yang dianggapnya memberontak, yakni Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Dicopot karena mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Dan Menteri Kehutanan dari Partai Keadilan Nur Mahmudi Ismail yang dibebas tugaskan karena dianggap tidak bisa mengendalikan Partai Keadilan yang saat itu mendukung upaya pemakzulan Gus Dur.
Pencopotan dua menteri ini disikapi hati-hati oleh Megawati yang memilih tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti.
Pada 30 April 2001, DPR mengeluarkan nota ke-2 mendesak digelarnya sidang MPR. Menyikapi perkembangan ini Gus Dur memerintahkan Menteri Koordinator Politik Sosial dan Keamanan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyatakan keadaan darurat. Namun perintah itu ditolak SBY, sehingga ia dan empat menteri lain diberhentikan oleh Gus Dur.
Pada 20 Juli Ketua MPR Amien Rais menyatakan sidang istimewa MPR akan dimajukan. Situasi ini disikapi oleh TNI dengan menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan menempatkan sejumlah tank disekitar Istana Negara. Langkah TNI ini ditafsirkan banyak pihak sebagai unjuk kekuatan dan dukungan terhadap sidang MPR.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap sidang MPR, Gus Dur mengumumkan pemberlakuan dekrit presiden. Dekrit ini berisi perintah pembubaran MPR dan DPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun dan pembekuan partai Golkar. Namun dekrit ini tidak mendapat dukungan.
Akhirnya 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Presiden Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati.
Bagi Gus Dur kekuasaan itu tidak boleh dipertahankan ketika darah menjadi syaratnya, meski hanya setetes darah. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil daris kasus pelengseran Gus Dur. Jangan sampai hanya karena haus kekuasaan kita menghalalkan segala cara dan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional.
Lama tidaknya seseorang berkuasa bukanlah ukuran keerhasilan, buktinya, banyak hal yang telah Gus Dur capai. Karena menurut Gus Dur yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan.