Jakarta, (Ronggo.id) – Masyarakat atau penggiat media sosial patut berhati-hati dalam menyebarkan informasi atau berita tidak lengkap. Sebab, Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur ancaman Pidana terhadap penyebar berita yang tidak lengkap maupun informasi yang berlebih-lebihan.
Pasal tersebut memunculkan klausul yang multitafsir soal penghinaan kekuasaan, pasal-pasal bermasalah lain pada KUHP ini antaranya meliputi living law, hukuman mati, larangan penyebaran “paham tak sesuai Pancasila”, penghinaan peradilan, kohabitasi, larangan unjuk rasa, pelanggaran HAM berat masa lalu, dan ancaman pidana korupsi.
Ironisnya, dalam KUHP yang juga dianggap berperan pada sulitnya upaya menghukum korporasi, klausul-klausul pada pasal tersebut juga dianggap dapat menjadi sarana untuk mengkriminalisasi jurnalis serta dikhawatirkan dapat membahayakan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi.
Seperti yang dikemukakan Eks Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, dimana secara spesifik menyoroti Pasal 264 yang mengatur ancaman pidana terhadap penyebaran informasi atau berita yang tidak lengkap.
“Berita tidak lengkap itu berbahaya. Sekarang kan mereka (perusahaan media massa) memecah (berita) dalam beberapa seri ya, nah kena tuh tidak lengkap,” ujar Asfinawati dalam diskusi yang diselenggarakan lembaga survei KedaiKopi yang dikutip dari Kompas, Kamis (8/12/2022).
Pasal yang sama juga mengatur ketentuan pidana bagi penyebaran informasi yang “berlebih-lebihan”. Sementara itu, istilah “berlebih-lebihan” ini multitafsir.
Upaya perusahaan pers membuat berita yang menarik bagi pembaca dikhawatirkan rentan dianggap masuk unsur “berlebih-lebihan” ini.
Asfinawati juga menyoroti unsur lain yang dapat membuat jurnalis dapat dikriminalisasi dengan pasal ini, yaitu unsur “mengakibatkan kerusuhan di masyarakat”.
“Kita tahu, itu (mengakibatkan kerusuhan) ditafsirkan sangat longgar,” ujarnya.
Ia memberi contoh soal pemberitaan yang kemudian disusul dengan kerusuhan. Hubungan sebab-akibat di antara keduanya dinilai tidak dapat disederhanakan bahwa kerusuhan itu disebabkan oleh berita.
“Seharusnya pasalnya adalah ‘orang yang menganjurkan agar ada kerusuhan’. Itu kan riil. Tapi kalau ‘mengakibatkan’, itu kan jadi longgar,” kata aktivis HAM itu.
Menurutnya, KUHP yang rentan mengkriminalisasi wartawan ini menjadi bagian dari episode-episode buruk bagi kebebasan pers di Indonesia, setelah kerja-kerja jurnalistik saat ini harus menghadapi upaya dari para pendengung/buzzer dengan segala propagandanya.
“Apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa menjaga media atau jurnalis dengan maksud media sebagai salah satu pilar demokrasi. Karena kalau media tidak mampu, menyuarakan apa yang penting ke depan, ya berat,” jelasnya.
Sebagai informasi, Pasal 240 KUHP yang baru disahkan DPR RI sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna kemarin berbunyi seperti ini:
“Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.