Kita sedang menyaksikan kelahiran sebuah keyakinan baru. Ia bukan sebuah agama teistik. Tentu saja, tak seperti Kristen, Yahudi, dan Islam, ia menaruh hubungan personal dengan Tuhan yang transenden yang menubuh dalam diri penganutnya dalam bentuk materi.
Dibandingkan dengan doktrin Kristen Ortodoks, Yahudi, dan Islam yang meyakini bahwa manusia tercipta atas tubuh material dan jiwa immaterial –yang keduanya penting—penganut keyakinan baru ini memahami bahwa mereka hanya memiliki tubuh, tapi yang terpenting adalah pikiran, yang dapat direduksi hanya sekadar pertukaran kimiawi dan elektrik. Tentunya, berlawanan dengan pandangan Kristen tentang adanya Surga atau, katakanlah konsepsi Buddhisme tentang dunia sebagai ilusi, keyakinan baru ini menegaskan bahwa yang ada, yang telah ada, dan yang akan ada hanyalah dunia fisik.
Mau tidak mau, pemikiran semacam itu mengantarkan kepada jurang gelap nihilisme. Di situlah agama baru ini meninggalkan filsafat materi, dengan menawarkan harapan kepada para penganutnya. Jika teisme tradisional menjanjikan keselamatan personal, keyakinan baru ini menawarkan harapan penyelamatan melalui ekstensi-kehidupan yang radikal dengan penerapan teknologi –sebuah simpul postmodern, jika boleh dikatakan demikian, yang memberikan janji kehidupan abadi.
Agama baru ini disebut dengan ‘transhumanisme‘, dan semua ini sedang berkecamuk di antara orang-orang kaya baru di lingkungan Silicon Valley, para filsuf di universitas, dan di antara ahli bioetika dan para futuris yang mencari kenyamanan dan keuntungan atas keyakinan tanpa harus mengikuti dogma, memohon ampunan, atau penebusan dosa –sebuah konsep asing bagi para transhumanis. Demikianlah, transhumanisme merupakan sebuah agama di era postmodern.
Singularitas: sebuah konsep keselamatan baru
Transhumanisme menawarkan dua janji utama. Pertama, manusia akan segera memperoleh kapasitas lebih, bukan melalui do’a yang khusuk, meditasi, atau disiplin-diri, namun dengan menenggak pil, rekayasa DNA, atau melalui pemanfaatan ilmu medis dan teknologi untuk melampaui batasan fisik yang normal. Lebih menariknya lagi, transhumanisme menjanjikan para penganutnya untuk dapat mengalami, jika bukan kehidupan abadi, setidaknya eksistensi tak terbatas –di dunia ini, bukan dunia setelahnya—melalui keajaiban-keajaiban sains terapan.
Di sinilah transhumanisme menjadi benar-benar eskatologis. Para pengusung transhumanisme meramalkan datangnya peristiwa keselamatan-baru yang disebut dengan ‘Singularitas’ –sebuah titik dalam sejarah manusia di mana laju perkembangan sains tak lagi dapat dibendung, memungkinkan para transhumanis menciptakan diri mereka dalam citra mereka sendiri. Ingin memiliki penglihatan seperti elang? Cukup edit beberapa gen. Ingin meningkatkan IQ? Pasang implant. Ingin terlihat seperti anjing laut? Mengapa tidak?
Yang paling penting, dalam dunia pasca-Singularitas, kematian itu sendiri akan ditundukkan. Mungkin, kita akan memperbarui ulang tubuh kita melalui penggantian organ yang dikloning atau dengan membekukan kepala kita secara kriogenik agar dapat dipindahkan ke tubuh lain. Namun, harapan terbesar para transhumanis adalah mengabadikan pikiran mereka (sebagai oposisi konsep jiwa) dengan mengunggah secara pribadi pikiran mereka ke dalam program komputer. Persis, transhumanis berharap dapat hidup tanpa akhir dalam ruang-siber, menciptakan realitas virtual mereka sendiri, atau mungkin, meleburkan kesadaran mereka dengan yang lain untuk dapat mengalami multi-wujud.
Transhumanis dulunya menolak anggapan bahwa gerakan mereka adalah sebuah bentuk atau subtitusi agama. Namun beberapa tahun terakhir, penyangkalan tersebut telah berkurang. Misalnya, Yuval Harari, seorang sejarawan dan transhumanis dari Hebrew University of Jerusalem, mengatakan, “Saya pikir 200 tahun yang akan datang Homo Sapiens tampaknya akan meningkatkan diri mereka ke dalam sebuah wujud ilahi, entah melalui manipulasi biologis atau rekayasa genetik melalui penciptaan cyborg, tubuh organik, tubuh non-organik.”
Menurut Harari, penemuan manusia atas agama dan uang memungkinkan kita menundukkan bumi. Namun dengan berkurangnya agama tradisional di Barat –yang tak dapat disangkal lagi – Harari percaya bahwa kita membutuhkan ‘fiksi-fiksi’ baru untuk mengikat kita bersama. Di situlah transhumanisme masuk:
Agama merupakan penemuan terpenting manusia. Selama manusia percaya bahwa mereka semakin bergantung pada tuhan-tuhan ini, dengan begitu manusia mudah dikendalikan. Dengan agama, segalanya mudah dipahami. Anda tidak dapat meyakinkan seekor simpanse untuk memberi Anda sebuah pisang dengan janji bahwa ia akan mendapatkan 20 pisang lagi di Surga simpanse. Simpanse tidak akan melakukan hal itu. Tetapi manusia akan melakukannya. Tetapi apa yang kita lihat dalam beberapa abad terakhir adalah manusia menjadi lebih kuat, dan mereka tidak lagi membutuhkan tuhan-tuhan sebagai tongkat penyangga. Sekarang kita berkata, “Kita tidak membutuhkan Tuhan, kita hanya butuh teknologi.”
Syahdan! Stereotip kuno dari orang Kristen fanatik berjanggut dengan jubah dan sandal yang membawa tulisan, “Kiamat sudah dekat!” telah digantikan oleh para penganut transhumanisme seperti penulis Ray Kurzweil (dari ketenaran Google) dengan manifesto transhumanist terlarisnya yang berjudul, The Singularity Near.
Saya tidak dapat mengakhiri esai ini tanpa menyoroti perbedaan yang sangat krusial yang harus ditarik antara transhumanisme dan agama ortodoks, khususnya agama Kristen. Cita-cita tertinggi Kristianitas adalah cinta. St Yohanes Si Penginjil menulis, “Tuhan adalah kasih.” Kristus memerintahkan orang-orang Kristen untuk “mengasihi satu sama lain seperti Aku telah mengasihi kalian.” Oleh karenanya, orang-orang beriman mengerti bahwa menjadi Kristen berarti memberi pakaian kepada orang miskin, mengunjungi orang sakit dan dipenjara, dll. Karena, sebagaimana apa yang Yesus ajarkan dalam Perumpamaan tentang Domba dan Kambing, ketika kita melakukan hal-hal tersebut kepada “yang paling hina ini, kalian telah melakukannya untuk-Ku.”
Kecerdasan: Kebajikan tertinggi transhumanisme
Sebaliknya, kebajikan tertinggi transhumanisme adalah kecerdasan, itulah sebabnya peningkatan kapasitas otak manusia adalah peningkatan kedua yang paling ingin diwujudkan oleh para transhumanis setelah berhasil mengalahkan kematian. Demikianlah pengusaha cum transhumanis Bryan Johnson dilaporkan oleh New Scientist telah menginvestasikan $100 juta guna mengembangkan implan untuk meningkatkan kecerdasan. “Saya telah tiba pada [tujuan akhir saya;] kecerdasan”, kata Johnson, karena “Saya pikir itulah sumber daya yang paling berharga dan kuat yang pernah ada.”
Di semua literatur transhumanis yang saya baca, saya melihat sedikit minat dalam meningkatkan kapasitas manusia untuk mencintai, di luar pemahaman paling duniawi dari istilah itu. Mungkin itu karena, sebagaimana dipahami bahkan para materialis radikal, cinta lebih dari sekadar tembakan neuron, ia mampu membawa kita sebisa mungkin untuk dapat mengekspresikan yang ilahi. Demikianlah kemudian seorang teis kuno memberi kita gambaran yang paling mendalam tentang cinta:
Jika aku berbicara dalam bahasa manusia dan bahasa malaikat tetapi tidak memiliki cinta, akulah gong yang kuat atau simbal yang berbenturan. Dan jika aku memiliki karunia bernubuat dan memahami semua misteri dan pengetahuan; jika aku memiliki seluruh keyakinan untuk memindahkan gunung tetapi tidak memiliki cinta, aku bukanlah apa-apa. Jika aku memberikan semua yang aku miliki, dan jika aku menyerahkan tubuhku sehingga aku dapat ber-angkuh-diri tetapi tidak memiliki cinta, aku tidaklah mendapat apa-apa. Cinta itu sabar, cinta itu baik. Ia tidak cemburu, tidak angkuh, tidak melambung, tidak kasar, tidak mencari kepentingannya sendiri, tidak cepat marah, tidak mengeram atas luka, tidak bersukacita atas kesalahan tetapi bersukacita dengan kebenaran. Ia menanggung segala hal, percaya segala hal, berharap segala hal, mengemban segala hal. Cinta tak pernah kalah.
Anda tidak akan menemukan sesuatu yang mendalam, bermakna, dan secerdas diskursus cinta St. Paul dalam manifesto transhumanis mana pun. Memang, bahkan jika pada akhirnya kita merekayasa ulang diri kita sendiri menjadi manusia paska-humanitas, sampai dan kecuali kita secara eksponensial mengembangkan kapasitas kita untuk mencintai –yang merupakan disiplin spiritual, bukan upaya mekanistik– kita tidak akan pernah menjadi makhluk seperti yang kita rindukan.